Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri resmi menghentikan sementara penggunaan sirene dan rotator (strobo) di jalan raya. Kebijakan ini diambil setelah muncul banyak penolakan dari masyarakat terhadap penggunaannya.
Lalu, bagaimana dengan penerapannya di Jawa Barat?
Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menegaskan bahwa aturan tersebut juga berlaku di wilayah Jawa Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu sudah ada arahan dari Kakorlantas, untuk pengawalan resmi diperbolehkan. Tapi yang digunakan secara pribadi dilarang," kata Hendra saat dihubungi via telepon, Selasa (23/9/2025).
Hendra menjelaskan bahwa penggunaan sirene dan rotator sudah diatur secara jelas dalam perundang-undangan.
"Ada pasalnya, penggunaan sirine yang tidak sesuai dengan peruntukannya, semacam tindakan (bagi pelanggar)," tambahnya.
Meski demikian, Hendra menyebut kondisi lalu lintas di Jawa Barat tidak sepadat di Jakarta, sehingga penggunaan sirene dan rotator relatif lebih terkendali.
"Jabar tidak seperti di Jakarta macet-macetnya. TNI, Polri dan pemerintah meminimalisir, dalam penggunaan sirine dan rotator," pungkasnya.
Larangan Didukung Warga Bandung
Kebijakan yang dikeluarkan Korlantas Polri ini disambut baik oleh masyarakat Kota Bandung, khususnya bagi mereka pengguna kendaraan roda empat.
"Bagus, saya dukung, terutama sirene atau rotator yang digunakan kendaraan pribadi," kata Mirudin (46) dijumpai detikJabar.
Ayah dua anak itu mengatakan jika dirinya kerap menemukan mobil berplat hitam yang menggunakan sirene dan rotator keluar dari Exit Tol Pasteur.
"Di Pasteur tuh, saya suka menemukan mobil pribadi yang pakai sirene dan rotator, terus maksa buka jalan padahal lagi macet," ujar Mirudin.
Warga Kopo ini mengatakan, dia memaklumi jika yang melintas mobil damkar, ambulans atau mobil yang memang seharusnya menggunakan sirene dan rotator.
"Itu sih gak masalah, tapi satu lagi, kendaraan pribadi yang dapat pengawalan. Itu sih pasti pejabat, atau keluarga pejabat, harus disamakan dengan yang lain lah selama dia mengguakan kendaraan pribadi, jangan diistimewakan," jelas Mirudin.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Nurul. Wanita berumur 28 tahun itu juga mengaku kesal jika saat berkendara bertemu dengan kendaraan yang menggunakan sirene dan rotator.
"Kesel, bikin kaget orang, apalagi mereka gak sabaran," ujar Nurul.
Tak hanya suara dari rotator, di malam hari Nurul menyebut matanya kerap disilaukan dengan cahaya lampu sirine.
"Asli, silau banget kalau malam, apalagi saat lagi ngantri di lampu merah, bikin konsentrasi buyar lho itu cahayanya," ujarnya.
Bahkan menurut Nurul, dia lebih memilih tak berkendara di malam hari karena khawatir terjadi kecelakaan lalu lintas. "Makanya kalau malam saya pilih gak nyetir, suka sama suami, tapi sama, meski ga nyetir, jadi penumpang aja nih, tetap cahayanya silau. Jadi kalau ada aturan pembatasan itu, bagus deh," terang Nurul.
Sebelumnya, Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho menyatakan bahwa pembekuan sementara ini dilakukan sembari menunggu evaluasi menyeluruh. Pengawalan terhadap kendaraan pejabat tertentu tetap dilaksanakan, namun penggunaan sirene dan strobo tidak lagi menjadi prioritas.
"Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan," ujar Irjen Agus, Sabtu (20/9).
Ia menegaskan, sirene hanya boleh digunakan pada kondisi tertentu yang benar-benar membutuhkan prioritas.
"Kalau pun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya imbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak," katanya.
(wip/dir)