Bunyi sirene 'tot... tot... wuk... wuk' yang meraung di tengah kemacetan kian hari kian menimbulkan kegelisahan. Suara itu sering dianggap sebagai gangguan yang menambah semrawut jalan raya dan belakangan banyak dikeluhkan dan mendapat penolakan masyarakat.
Djoko Setijowarno selaku Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menilai penolakan masyarakat terhadap sirene dan strobo bukan tanpa alasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya. Masyarakat sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan," ujar Djoko dalam keterangannya, Minggu (21/9/2025).
Fenomena ini bukan hal baru. Masyarakat sering menyaksikan kendaraan pribadi hingga mobil pejabat menyalakan strobo di tengah kemacetan, meski tidak dalam kondisi darurat. Praktik ini memunculkan kesan bahwa strobo hanyalah simbol hak istimewa.
"Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan," katanya.
Bukan hanya soal visual, suara sirene juga menjadi sumber keluhan. Suara nyaring yang diperdengarkan tanpa henti, apalagi di malam hari atau di kawasan padat penduduk, memicu stres bagi banyak orang. Lansia, pasien sakit, hingga orang yang butuh istirahat kerap menjadi korban.
"Gangguan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menimbulkan stres, bahkan memicu kecemasan. Orang tua, orang sakit, atau mereka yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang berlebihan," tegas Djoko.
Regulasi Tak Tegas
Padahal, aturan sudah jelas. Pasal 134 dan Pasal 135 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan siapa saja yang berhak mendapatkan prioritas di jalan.
Kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, mobil jenazah, hingga pengawalan pejabat negara tertentu memang boleh menggunakan sirene dan strobo, namun tetap dengan pengawasan polisi. Sayangnya, penegakan hukum masih dianggap lemah. Sanksi yang tercantum, kurungan maksimal satu bulan atau denda Rp250 ribu dinilai terlalu rendah.
"Meskipun sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo, penegakan hukumnya sering kali dianggap lemah. Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan," ungkapnya.
Dampak lain yang lebih serius adalah menurunnya kepercayaan masyarakat. Ketika sirene dibunyikan, orang tak lagi yakin apakah itu tanda darurat atau sekadar kendaraan mencari jalan pintas.
"Akibatnya ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya," ujarnya.
Djoko juga mengomentari respons Kakorlantas Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho yang bakal menertibkan penggunaan strobo. Namun Djoko mengingatkan, langkah ini tidak boleh berhenti di penertiban sementara.
"Sebagian besar masyarakat setuju bahwa penertiban ini tidak seharusnya hanya sementara. Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan
(sud/sud)