Matahari belum terlalu tinggi saat Ninda (51) mulai menata termos, gelas plastik, dan keranjang biru berisi kopi instan, energen, serta beberapa bungkus minuman serbuk lainnya. Tangannya cekatan, wajahnya serius.
Di bawah rindang pohon dekat jalan protokol Palabuhanratu, ia bersiap untuk satu hari yang berbeda. Hari ini, Senin (1/9/2025), kabar rencana aksi besar-besaran di depan DPRD Kabupaten Sukabumi membuatnya kembali mengayuh sepeda menuju keramaian.
Bagi Ninda, setiap kabar soal demonstrasi tak hanya berarti kerumunan dan orasi, tapi juga peluang mengais rezeki. Sudah bertahun-tahun ia mencari nafkah dengan berjualan kopi keliling, dan aksi massa selalu jadi ruang baginya untuk menggantungkan hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, katanya dari Kota Sukabumi, terus dari seluruh kabupaten juga mau datang. Pasti akan ramai," ujarnya sambil merapikan gelas plastik di keranjangnya.
Ninda tahu kabar ini dari "informan khususnya" jaringan yang selalu memberi informasi lebih awal ketika akan ada aksi besar. Begitu kabar diterima, ia tak pernah menunggu lama.
Barang dagangannya segera disiapkan, termos diisi air panas, kemudian dijinjing menuju halaman depan DPRD tepatnya di Taman Bappeda, Komplek Perkantoran Jajaway, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Namun, jalan panjang menuju titik ini tidak selalu mudah. Dulu, pada 2009, Ninda sempat memiliki warung kopi kecil di depan Polres Sukabumi. Warung itu menjadi saksi pertama kalinya ia mengenal riuhnya kerumunan dan panasnya demonstrasi.
Tapi tempat itu kini hanya tinggal kenangan. Ia berjualan di lahan orang lain, membuat Ninda harus berpikir cepat. Dengan tabungan seadanya, ia membeli sepeda, memodifikasi keranjang biru, dan memilih berjualan keliling.
Sejak itu, ia lebih banyak berinteraksi dengan massa aksi, polisi, wartawan, dan petugas keamanan.
"Saya kenal polisi, wartawan, sampai yang biasa demo pasti kenal saya. Kalau ada aksi, pasti ketemu," ucapnya sambil tersenyum kecil.
Setiap kali massa berkumpul, Ninda berada di antara mereka, bukan sebagai peserta, tapi sebagai penyaksi. Dari balik gelas plastik kopi dan termos kecilnya, ia mengamati gelombang manusia yang bergerak, wajah-wajah penuh amarah, suara-suara yang meninggi, dan kadang, ketegangan yang perlahan terasa di udara.
Ninda tahu tanda-tanda saat situasi mulai memanas. Ia mengenali suara sirene mobil water canon, melihat ban mulai dibakar, dan merasakan energi massa yang tiba-tiba berubah.
"Kalau situasi mulai panas, kelihatan ada mobil besar nyemprot air, keluar saya lari tuh ke belakang, ke belakang Taman Bappeda, ngumpet," tuturnya sambil terkekeh, mencoba mengubah ketegangan menjadi gurauan.
Hari ini, ia kembali mengulang rutinitas yang sama. Bedanya, kabar aksi kali ini terdengar lebih besar dari biasanya. Massa disebut-sebut akan datang dari berbagai kecamatan, memenuhi halaman DPRD dan jalan protokol Palabuhanratu.
Ninda sudah menyiapkan termos ekstra, lebih banyak kopi, dan dua bungkus minuman kemasan tambahan. Baginya, semakin ramai aksi, semakin besar peluangnya menjual minuman hangat untuk para pendemo dan petugas keamanan.
Namun, di balik kesiapannya mengejar rezeki, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ia mendengar kabar soal aksi di beberapa kota lain yang berujung ricuh dan bentrok dengan aparat. Ninda menghela napas panjang sebelum berbisik lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri,
"Saya cuma mau dagang. Mudah-mudahan di sini nggak sampai rusuh. Namanya orang ramai, wajar beda pendapat, tapi semoga nggak ada yang saling lukai. Kita kan sama-sama warga Sukabumi, semua pengennya aman," lirihnya.
Bagi Ninda, Palabuhanratu bukan hanya tempatnya mencari nafkah, tapi rumah yang harus dijaga damainya. Dari balik keranjang dagangannya, ia membawa lebih dari sekadar kopi dan minuman sereal.
Ia membawa secangkir harapan sederhana, pulang sore nanti dengan dagangan habis, massa bubar dengan tertib, dan halaman DPRD kembali sunyi seperti sedia kala.
(sya/iqk)