"Having a physical disability is not an obstacle for me to keep learning and making my dreams come true. (Memiliki cacat fisik bukanlah halangan bagi saya untuk terus belajar dan mewujudkan impian saya)," tulis Engkus dengan jempol kaki di tablet kecilnya saat ditemui detikcom, Senin (23/4/2018) silam.
Liputan detikcom saat itu memperkenalkan sosok Engkus yang tengah ramai diperbincangkan warganet. Sosoknya sederhana. Ia duduk di lantai rumahnya di Kampung Ciangsana, RT 3 RW 3, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, Engkus tampak menunduk serius. Ponsel ia letakkan di atas meja rendah. Perlahan, jempol kakinya menekan huruf demi huruf. Setiap kalimat yang keluar bukan sekadar rangkaian kata, melainkan tekad untuk bertahan hidup.
Enam tahun berlalu sejak liputan itu tayang. Kisah Engkus tidak berhenti sebagai cerita viral. Hidupnya terus bergulir, penuh luka dan perjuangan, tapi juga sarat makna dan cahaya.
Engkus diketahui mengalami kesulitan berbicara. Suaranya kerap terbata-bata, kadang parau seperti yang saya saksikan saat bertemu dengannya enam tahun silam. Karena itu, wawancara kali ini dilakukan melalui aplikasi percakapan, Selasa (16/9/2025).
Melalui tulisan, Engkus menuturkan kembali perjalanan hidupnya. Ia mengingat betul bagaimana awal mula dirinya menjadi difabel.
"Saat itu saya demam panas, lalu dibawa ke puskesmas, tapi malah disuntik. Setelah itu tubuh saya menjadi lemas tak berdaya," tulisnya.
Sejak polio itu, hidupnya tak pernah sama. Tubuhnya kerap kejang, terutama saat demam atau terlalu lelah. Kedua tangannya tak berfungsi normal kadang melengkung ke depan, kadang ke belakang membuatnya sulit memegang apa pun.
Ia lalu menemukan cara lain, jempol kaki. Dari benda sekecil pensil hingga layar ponsel, semua ia kendalikan dengan kaki. Aktivitas yang bagi orang lain sepele, seperti menulis, baginya adalah perjuangan.
"Kalau mengetik terus atau kelelahan, saya merasa pegal dan kejang-kejang," ungkapnya.
Hidup dalam keterbatasan fisik bukan hal mudah. Apalagi saat kecil ia tumbuh dalam cibiran dan tatapan iba. Namun ia punya satu pegangan yakni sang ibu.
"Orang yang paling berjasa dan mendukung saya adalah almarhumah ibu saya. Beliau membelikan kamus bahasa Inggris untuk saya pelajari," tulisnya.
Kamus sederhana itu menjadi pintu dunia. Dari situlah ia mulai belajar bahasa asing yang ia dengar dari film-film barat. Ia ingin tahu artinya, ingin memahami percakapan yang selama ini hanya bisa ia tebak.
"Awal mula saya tertarik dengan bahasa Inggris itu karena saya suka nonton film-film barat. Nah, di situ saya ingin sekali bisa bahasa Inggris untuk bisa mengerti apa yang mereka katakan," ujarnya.
Tantangan terbesar adalah grammar yang rumit dan ketiadaan lawan bicara. Ia hanya bisa membaca, menulis dengan jempol kaki, dan mengulang-ulang kalimat. Proses panjang itu kerap membuatnya lelah. Namun ia terus bertahan.
Ketika ibunya meninggal, hatinya runtuh. "Saya pernah merasa putus asa ketika ibu saya meninggal karena beliau yang paling dekat dengan saya. Namun saya mencoba untuk bangkit dengan mengajar di sosmed. Dengan begitu, saya bisa bangkit kembali," tuturnya.
Engkus mulai aktif mengunggah materi bahasa Inggris di Facebook. Awalnya hanya berupa kosakata, terjemahan, atau tips singkat. Tak disangka, banyak orang menyukai. Hingga suatu hari, ada pengkutinya di media sosial yang berkomentar.
"Kang, masukin ke grup dong," tulis pengikut Engkus. Padahal kala itu Engkus belum memiliki grup.
![]() |
Komentar itu mengubah jalan hidupnya. Ia membuat grup Facebook Ayo Belajar Bahasa Inggris dari Nol. Responnya meluas.
"Katanya grup itu bagus untuk belajar. Pelajaran-pelajarannya mudah dipahami," tulisnya.
Ribuan orang bergabung, dari berbagai latar belakang. Bagi Engkus, setiap anggota adalah teman seperjuangan. Ia tak hanya mengajar, tapi juga ikut bangga pada pencapaian mereka.
"Ada seorang murid yang menjadi PNS setelah mempelajari pelajaran yang saya posting. Itu yang membuat saya berkesan," ungkapnya dengan penuh kebanggaan.
Ketekunannya menembus batas ruang kecil rumahnya. Dengan jempol kaki, ia menulis buku. Satu per satu karyanya lahir, A Life On Toes, English Is Easy, Modul Bahasa Inggris, hingga Trik & Tips Bahasa Inggris. Buku-buku itu jadi bukti nyata bahwa keterbatasan fisik tak menghalangi lahirnya karya.
"Karya-karya itu sudah banyak dipesan juga, bahkan sampai ke negeri Belanda," tulis Engkus,
Dunia pun memberi penghargaan. Engkus menyabet Liputan 6 Awards pada 2018 dan Merdeka Awards 2024, selain beberapa apresiasi lain. "Perasaannya senang dan bangga bisa mendapatkan penghargaan tersebut. Senangnya karena bisa menginspirasi orang banyak, terutama para kaum difabel," tulisnya.
Namun penghargaan tak mengubah dirinya. Ia tetap rendah hati. Ia tetap duduk di rumah sederhana, tetap mengetik dengan jempol kaki. Baginya, yang utama adalah memberi manfaat.
"Keterbatasan dalam hidup adalah batasan alami atau faktor pembatas yang melekat pada eksistensi manusia dan kondisi lingkungan. Namun, keterbatasan fisik bukanlah sebuah hambatan bagi saya untuk terus berkarya dan berbagi ilmu," tegasnya.
Semangat itu ia jaga dengan pikiran positif. "Karena banyak yang lebih dari saya di luar sana," tambahnya.
Pesannya sederhana tapi mengena, bagaimana untuk tidak menyerah saat hidup terasa berat. "Saat kamu merasa ingin menyerah, ingat mengapa kamu bertahan begitu lama sejak awal. Jadi, teruslah semangat dan jangan pernah menyerah," tulisnya.
Kini, Engkus punya mimpi baru. Ia ingin mendirikan tempat belajar khusus bagi anak-anak, dengan fasilitas sederhana. Tak hanya untuk dirinya, tapi agar anak-anak di kampungnya bisa merasakan dunia yang lebih luas.
Ia juga menyimpan satu harapan, bertemu dengan sosok yang ia kagumi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang ia sebut KDM.
"Saya ngefans banget sama beliau, ingin bertemu dan menceritakan mimpi saya, membuat sebuah fasilitas sederhana untuk belajar anak-anak kampung, dan mungkin menjadi jendela dunia melalui belajar daring," ujarnya.
Baca juga: Pasar Surade Sukabumi Hangus Terbakar |
Enam tahun setelah kisahnya pertama kali tayang, Engkus tetap setia pada jempol kakinya. Dari ruang kecil di Sukabumi, ia mengetik, menulis, mengajar, dan menyalakan semangat banyak orang.
Dari keterbatasan lahir kekuatan. Dari kesunyian, ia melahirkan suara yang terdengar jauh, sebuah pengingat bahwa hidup boleh menghantam sekeras-kerasnya, tapi harapan selalu bisa tumbuh bahkan dari jempol kaki yang terus menari di atas layar.
(sya/sud)