Kala Pelajar MTs di Kampung Gempol Belajar di Bawah Bayang Retakan

Kala Pelajar MTs di Kampung Gempol Belajar di Bawah Bayang Retakan

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Senin, 08 Sep 2025 14:00 WIB
Siswa MTs Miftahul Barokah belajar di ruang kelas dengan lantai retak dan dinding penuh coretan di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Senin (8/9/2025).
Siswa MTs Miftahul Barokah belajar di ruang kelas dengan lantai retak dan dinding penuh coretan di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Senin (8/9/2025). (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Suara anak-anak bersahutan membaca pelajaran dari ruang kelas sempit yang dindingnya penuh retakan. Plafon menggantung tak rata, sebagian bolong, dan coretan kapur di papan tulis memudar, hampir tak terbaca. Kursi plastik warna-warni tersusun tak rapi, sebagian meja kayu kusam dengan cat terkelupas dan bekas coretan nama.

Dari balik jendela kaca yang pecah, angin lembap masuk perlahan, membawa aroma tanah basah. Di sinilah para siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, belajar setiap hari. Bangunan sekolah yang retak-retak dan nyaris roboh ini kembali ditempati. Bukan karena sudah aman, melainkan karena tak ada pilihan lain.

Jejak Bencana dan Tenda Darurat

Pergerakan tanah pada 3 dan 4 Desember 2024 mengubah wajah Kampung Gempol dalam sekejap. Hujan deras dua hari berturut-turut memicu retakan besar di permukiman dan merusak puluhan rumah serta bangunan sekolah. MTs Miftahul Barokah, satu-satunya madrasah di kampung ini, ikut terdampak. Lantai kelas pecah, dinding retak, dan sebagian atap miring tak lagi aman ditempati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak itu, puluhan siswa sempat menempati tenda darurat milik BNPB yang didirikan di halaman sekolah. Selama hampir tiga bulan, proses belajar berlangsung seadanya, beralaskan karpet plastik tipis. Namun, tenda itu beberapa kali roboh saat hujan deras.

Karpet becek, kursi-kursi bergeser, dan aktivitas belajar buyar. Biaya perbaikan dan logistik kian membebani pihak yayasan, hingga akhirnya pada awal Mei 2025, para siswa terpaksa kembali belajar di ruang kelas lama yang retak-retak.

ADVERTISEMENT

"Karena memang tidak ada tempat lain untuk aktivitas belajar, anak-anak terpaksa belajar di sekolah yang sudah mulai rusak seperti ini," tutur Lela Helmiah, guru RA sekaligus pimpinan Ponpes Miftahul Barokah, Senin (8/9/2025).

Lela menatap langit-langit yang retak, suaranya lirih ketika menceritakan kekhawatirannya.

"Kalau untuk kekhawatiran, masih banyak. Yang pertama musim hujan, tapi walaupun tidak hujan juga sama takutnya, karena sesekali itu ambruk gitu," tuturnya.

Upaya mencari solusi sudah dilakukan ke berbagai pihak, termasuk menemui anggota dewan di Bandung. Namun, harapannya tak kunjung terjawab.

"Sampai saya datang ke Bandung untuk cari solusi gimana caranya, ke anggota dewan, tapi ternyata tidak ada respon sama sekali. Nginep tidur di kursinya pejabat pun enggak ada hasilnya," ucapnya, tersenyum getir.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi memang menyiapkan relokasi untuk warga terdampak, membangun hunian sementara di Kampung Pasirgoong. Namun, sekolah dan pondok pesantren tidak masuk prioritas relokasi.

"Itu relokasi yang mau direlokasi itu relokasi mandiri dari yayasan, kalau dari pemerintah tidak ada untuk sekolah, sampai saat ini," ungkapnya.

Siswa MTs Miftahul Barokah belajar di ruang kelas dengan lantai retak dan dinding penuh coretan di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Senin (8/9/2025).Siswa MTs Miftahul Barokah belajar di ruang kelas dengan lantai retak dan dinding penuh coretan di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Senin (8/9/2025). Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Kini, jumlah siswa pun terus menurun. Di RA Miftahul Barokah, siswa tersisa 35 anak, sementara di MTs ada 57 siswa. Di pondok pesantren, dari ratusan santri, kini hanya 59 anak yang tercatat.

"Siswa juga bingung. Mau daftar pun ragu karena rencananya di sini, tapi kondisinya begini. Jadi jumlah siswa agak turun sekarang," kata Lela.

Tak hanya itu, aktivitas mengaji ikut terhenti. Bangunan pesantren rusak parah, sebagian santri kini hanya pulang-pergi sekolah karena tak lagi punya tempat mondok.

"Mudah-mudahan lebih cepat terealisasi bangunan baru. Kalau tidak ada fasilitas, siswa mundur. Kami ingin tempat belajar yang aman, nyaman, dan maksimal," ucap Lela.

Waswas di Bawah Plafon Retak

Sementara itu, Usup Supriatman, guru MTs Miftahul Barokah, mengaku tak pernah merasa tenang saat mengajar. Setiap kali masuk kelas, rasa cemas selalu menyelinap.

"Degdegan juga waswas, waswasnya itu manakala kita sedang mengajar atau juga anak murid itu tertimpa reruntuhan," katanya pelan. Ia menunjuk ke sudut plafon yang sudah jebol sebagian.

"Bahkan itu atapnya sudah ada yang jatuh. Alhamdulillah waktu jatuhnya pas jam istirahat," sambungnya.

Selama musim kemarau, proses belajar masih bisa berlangsung meski penuh keterbatasan. Namun, ketika hujan turun, ketakutan itu mencapai puncaknya.

"Kalau ada hujan, paling murid di luar aja, karena khawatir juga," imbuh Usup.

BNPB dan BPBD sudah menyarankan agar aktivitas belajar dihentikan dan lokasi sekolah dikosongkan karena dianggap berbahaya.

Namun, hingga kini, tak ada solusi pengganti. Para guru dan siswa tetap datang setiap pagi, menembus rasa takut dan ketidakpastian, mempertahankan rutinitas belajar.

Dari luar jendela yang kacanya retak, terlihat bayangan pepohonan bergerak diterpa angin. Di dalam, suara anak-anak membaca pelajaran terdengar lirih, berpadu dengan gesekan genting yang melorot perlahan. Bangunan ini berdiri rapuh, menunggu waktu antara runtuh atau diselamatkan.

(sya/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads