Malam itu, Selasa (2/9/2025), telepon dari Ketua RT berdering hingga enam kali. Warga sudah ramai, suara gaduh hampir pecah menjadi keributan besar. Yang dipanggil untuk turun tangan bukan aparat bersenjata, melainkan polisi yang biasa bertugas di wilayah Kelurahan Karadenan, yakni Aiptu Heru Budiyanto, Babinkamtibmas Polres Bogor.
"Bubar, bubar! Ini bukan dangdutan hiburan," seru Heru kepada warga yang berkerumun, mencoba menenangkan situasi sebelum semakin ricuh.
Di lokasi kejadian, Heru mendapati persoalan yang tak biasa. Seorang perempuan berinisial S (33), yang sah masih menjadi istri A, ternyata sudah menikah lagi dengan pria bujang berusia 28 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernikahan itu bukan hanya siri, tetapi juga telah dikaruniai seorang bayi berusia dua bulan. Padahal, dari pernikahannya dengan A, S sudah memiliki dua orang anak.
"Seumur-umur saya baru sekali mengurus masalah seperti ini. Dari selingkuh, pernikahan, sampai punya anak pula," ujar Aiptu Heru sambil menggelengkan kepala, bercertia kepada detikjabar.
Kisah ini bermula dari sertifikat tanah atas nama S yang diagunkan. A, suami sahnya, bekerja serabutan. S berdalih ingin menebus sertifikat itu, lalu meminta izin bekerja kepada suami dan ayah kandungnya. Namun bukannya selesai, justru muncul masalah baru.
Sertifikat tersebut akhirnya digadaikan kepada mantan pacar S dengan dalih modal bisnis. Ia dijanjikan keuntungan Rp1,5 juta setiap bulan. Janji tinggal janji. Bisnis tak kunjung berjalan, sementara sertifikat satu-satunya keluarga sudah berpindah tangan.
Merasa ada yang janggal, A dan mertuanya, ayah kandung S, menelusuri keberadaan sertifikat tersebut. Insting detektif sang ayah berjalan. Dia meminta anaknya yang juga adik S untuk bertanya keberadaan sang kakak.
Dari penelusuran, terungkaplah fakta mengejutkan, S berada di Karadenan dan sudah menikah lagi. Pernikahan siri itu bermodal surat cerai palsu yang dibuat S sendiri, disertai alasan bahwa ia sudah janda. Kepada mertua barunya, S bahkan mengaku bapaknya sakit keras di kampung halaman.
"Alasannya dibuat-buat. Sampai ada pesta pernikahan, dengan wali yang ternyata bukan keluarga, melainkan orang bayaran," kata Heru.
Antara Amarah dan Pendinginan Suasana
Begitu kebenaran terungkap, konflik pun tak terelakkan. A, suami sah, marah besar. Ketua RT sudah berulang kali memanggil, warga pun ikut riuh. Heru akhirnya membawa semua pihak duduk bersama di rumah Ketua RT.
"Yang penting jangan sampai ribut. Cooling down dulu. Saya persilakan kalau mau lapor ke Polres, tapi pikirkan juga cucu bapak ini," tutur Heru, menekankan upaya mediasi yang mengutamakan damai.
Situasi baru mereda setelah hampir dua jam mediasi, meski persoalan belum tuntas. S mengaku sertifikat tanah digadaikan Rp10 juta, dan ia berjanji akan mencarikan solusi secara kekeluargaan.
"Cepat atau lambat, ada jalan keluar. Mungkin mertua si suami baru akan ikut menyiapkan dana supaya masalah beres," tambah Heru.
Malam itu, selepas meredakan kasus yang ruwet, Heru masih menerima laporan lain, seorang warga ditipu saat hendak membeli motor. Kendaraan itu rencananya akan digunakan korban untuk ngojek. Telepon kembali berdentang berkali-kali hingga hampir pukul 22.30 WIB.
Bagi Aiptu Heru, inilah wajah nyata pengabdian di lapangan. Bukan sekadar patroli, tetapi menjadi jembatan perdamaian di tengah keruwetan hidup masyarakat.
(mso/mso)