Bentang alam kawasan wisata Lembang, Kabupaten Bandung Barat selalu memukau mata. Ada nuansa saintifik hingga hikayat dan mitos yang menyertai keberadaannya.
Ada Gunung Tangkuban Parahu, ada ada hutan Cikole, ada danau alami yang bertransformasi jadi objek wisata artifisial. Di antara tempat-tempat yang ramai dikunjungi wisatawan, terselip satu nama yang masih belum familiar di telinga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namanya Gunung Batu, bukan daerah di Kota Bandung berbatasan dengan Kota Cimahi. Namun nama gunung di ketinggian 1.228 Mdpl, yang ada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.
Sebuah formasi batuan yang membentuk gunung, tempat banyak kegiatan dilakukan. Mulai dari pembentangan bendera merah putih raksasa di bulan Agustus, tempat latihan panjat tebing dan vertical rescue, hingga berkaitan dengan bencana alam.
Ya, Gunung Batu merupakan titik paling terlihat dari Sesar atau Patahan Lembang. Sumber gempa bumi yang membentang sepanjang 29 kilometer dari ujung utara di Jatinangor sampai Padalarang di belahan baratnya.
"Jadi Gunung Batu ini merupakan bagian dari Sesar Lembang. Dulu ini satu level yang sama, namun kemudian naik ke atas, terangkat oleh aktivitas tektonik," ujar Peneliti Gempa Bumi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mudrik Rahmawan Daryono saat dikonfirmasi, Senin (25/8/2025).
Selama perjalanannya seperti dituangkan oleh BMKG dalam sebuah plang informasi di puncaknya, Gunung Batu terbentuk akibat membekunya magma yang menerobos daratan atau intrusi sekitar 510 ribu tahun yang lalu atau bertepatan pada kala Pleistosen.
Catatan gempa besar akibat Sesar Lembang terjadi sekitar tahun 1400-an. Sesar Lembang bergerak 1,95 sampai 3,45 milimeter per tahun. Periode keberulangan gempa tersebut diperkirakan 170 sampai 670 tahun.
Sementara itu, Mudrik menyebut berdasarkan penelitian tinggi Gunung Batu terus mengalami peningkatan di setiap event gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang terjadi.
"Studi kita itu Gunung Batu sudah bergeser sekitar 120 sampai 450 meter, tapi yang paling muda itu 120 meter. Dari penelitian terakhir, Gunung Batu ini naik 40 sentimeter akibat gempa dengan magnitudo 6,5 sampai 7. Jadi 1 kali event gempa itu bisa bergeser naik 1 meter sampai 2 meter, tapi yang terakhir 40 sentimeter," kata Mudrik.
![]() |
Ada Makam Keramat di Puncaknya
Bagian puncak Gunung Batu Lembang tak sulit didaki. Jalurnya sudah terbentuk berupa jalan setapak, ketinggiannya tak terlalu ekstrem, sehingga banyak menjadi destinasi berolahraga maupun jalan-jalan warga sekitar.
Di puncak, beragam aktivitas biasa dilakukan. Mulai dari sekadar duduk santai, berfoto, penelitian lantaran terdapat pos pengamatan pergerakan tanah Sesar Lembang milik BMKG, hingga pelaksanaan ritual.
Menariknya, ada satu bangunan di puncaknya yang papan namanya bertuliskan 'Makam Patilasan Mbah Mangkunagara Mbah Jambrong'. Makam dua nama yang lazim digunakan pada zaman kerajaan itu ada di dalam bangunan berupa bedeng berdinding triplek.
detikJabar menengok pusara berkeramik biru muda. Nisannya ditulis menggunakan cat hitam, font yang digunakan asal-asalan, cuma demi menegaskan bahwa itu merupakan makam Mbah Jamrong atau Mbah Jambrong dan Mbah Mangkunagara.
Di sebelahnya, ada batu berukuran besar. Makam keramat itu terkunci dari luar. Penjaganya alias juru kunci makam keramat ialah Lasmana alias Abah Ujang. Pria warga Lembang yang dipercaya menjaga makam keramat itu melanjutkan orangtua dan leluhurnya.
"Sejarahnya seperti diceritakan oleh orang tua abah dan sesepuh, Gunung Batu ini dulunya itu tempat berkumpulnya para dalem, pemimpin suatu wilayah," kata Abah Ujang saat berbincang dengan detikJabar.
Lantas siapa Mbah Mangkunagara dan Mbah Jambrong? Berdasarkan penjelasan yang ia terima sebelum dipercaya sebagai kuncen, kedua nama itu merupakan kepala negara dan wakilnya. Mbah Mangkunagara sebagai kepala negara dan Mbah Jambrong ialah wakilnya.
Mbah Mangkunagara juga dikenal sebagai Aki Gul Wenang, sementara Mbah Jambrong dikenal sebagai Eyang Jagawalang. Mbah Mangkunagara bukan kepala negara dalam konteks seperti presiden, melainkan pemimpin di wilayahnya di masa itu. Sementara Mbah Jambrong merupakan pendampingnya.
"Ya seperti sekarang itu gubernur, bupati, kalau dulu kan dalem. Jadi dari Gunung Batu ini, mereka sering mengadakan pertemuan dengan kepala negara daerah lain, di sini semedi raganya sementara jiwanya bisa terbang kemana-mana. Itu dilakukan kalau mereka sedang rapat," ucap Abah Ujang.
Kebijaksanaan dan kesaktian kedua orang itu, kemudian tersebar kemana-mana. Keduanya diyakini tilem atau meninggal dunia dengan raganya berada di suatu tempat yang orang biasa tahu. Sementara pusara di puncak Gunung Batu, sebagai manifestasi atas tilemnya dua tokoh yang bisa diyakini sebagai hikayat ataupun mitos.
"Saya mulai jadi kuncen di sini sejak tahun 1992, kalau awalnya keluarga saya jadi kuncen di tahun 1940-an," kata Abah Ujang.
Banyak orang yang datang ke makam keramat itu. Maksud dan tujuannya berbeda satu sama lain. Ada yang datang demi meraih kesuksesan, ada yang datang ingin meminta ini dan itu, namun selalu ditekankan bahwa upaya itu hanya sebagai syariat.
"Saya selalu sampaikan meminta tetap pada Allah SWT, jangan menduakan dengan meminta di makam keramat ini. Cuma kita harus yakini, bahwa ketika berdoa itu ada syariatnya, dan makam ini jadi syariatnya," kata Abah Ujang.
"Banyak yang datang ketika mendekati pemilu, kemudian mau ujian, mau menikah, mau sukses bisnis. Ada yang dari Jakarta, Bogor, Sukabumi, jadi enggak cuma dari Lembang saja," imbuhnya.
(sud/sud)