Masjid Al Atiqiyah Karadenan dan Jejak Raden Syafe'i

Jalan Santai

Masjid Al Atiqiyah Karadenan dan Jejak Raden Syafe'i

Andry Haryanto - detikJabar
Jumat, 22 Agu 2025 08:00 WIB
Kampung Raden.
Masjid Al Atiqiyah. (Foto: Andry Haryanto/detikJabar)
Bogor -

Jalan Kaum 1 di Cibinong, Kabupaten Bogor, membawa saya terus menelusuri sejarah yang diam. Di ujung jalan ini, saya tiba di sebuah halaman terbuka di RT 4. Tempat ini tenang, jauh dari hiruk-pikuk jalan raya Karadenan yang hanya berjarak sekitar 200 meter di belakang sana. Di sinilah berdiri Masjid Al Atiqiyah, tegak dan sederhana, sekaligus penuh kisah.

Dari luar, masjid ini tak langsung memperlihatkan wajah tuanya. Bangunan dua lantai itu terlihat modern, dengan cat putih bersih dan kaca-kaca jendela besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi kanannya menjulang satu menara berkubah lancip, seperti pelita bagi kampung tua. Lima kubah di atap masjid, empat berwarna hijau dan satu hitam, menjadi ciri arsitektur paling mencolok. Tapi ada yang lebih penting daripada rupa, yaitu angka 1667 terpahat dalam tulisan Arab di atas gerbang utama, menjadi pengingat bahwa masjid ini berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Dulu namanya Masjid Kaum. Baru belakangan diganti jadi Al Atiqiyah. Artinya masjid kuno," ujar Raden Dadang Supadma (58), sesepuh Kaum Pandak sekaligus pengarsip hidup sejarah Karadenan.

ADVERTISEMENT

Haji Dadang, biasa dia disapa, menjelaskan masjid Al Atiqiyah didirikan oleh Mbah Raden Syafe'i, seorang ulama sekaligus bangsawan keturunan Pajajaran, Banten, dan Cirebon.

Secara nasab atau garis keturunan, Raden Syafe'I adalah putra dari Raden Nasib bin Raden Sagiri bin Prabu Surawisesa bin Sri Baduga Maharaha Prabu Siliwangi. Haji Dadang mengatakan, dirinya merupakan keturunan ke-41 dari Raden Syafe'i.

Raden Syafe'I sendiri diyakini datang dari Jatinegara Kaum pada pertengahan abad ke-17, membawa syiar Islam ke tanah baru yang kelak disebut Kaum Pandak. Makam beliau berada di belakang masjid, dengan nisan batu bergaya Cirebonan yang kini menjadi salah satu bukti fisik kuat akan usia masjid ini.

"Ada relasi dengan Kerajaan Muara Beres yang runtuh pada abad ke-15," kata Haji Dadang. Muara Beres adalah kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Pajajaran. Raja saat itu adalah Prabu Surawisesa.

Kampung Raden.Masjid Al Atiqiyah. (Foto: Andry Haryanto/detikJabar)

Sejak didirikan, masjid ini telah mengalami beberapa kali pemugaran besar, yaitu pada 1978 dan yang paling besar pada 1994 ketika lantai dua dibangun.

Saat itulah struktur kayu lama diganti dengan beton, dan dinding luar diperkuat. Namun yang menarik dan sering luput dari perhatian pengunjung-adalah empat tiang utama dari kayu jati yang menjadi soko guru bangunan.

"Banyak orang mengira tiangnya sudah diganti. Padahal masih ada," ujar Haji Dadang.

"Cuma sekarang dibungkus oleh balutan semen untuk memperkuat struktur," dia menjelaskan.

Tiang-tiang itu dulu berdiri di tengah ruangan, menopang atap bersusun tiga. Kini mereka tersembunyi, tapi tetap tegak, menyimpan usia dan doa dari masa ke masa. Bagi warga Karadenan, tiang itu bukan sekadar struktur, ia adalah penyangga ruh dari masjid dan kampung ini.

Masjid Al Atiqiyah juga menyimpan artefak spiritual yang tak banyak diketahui orang. Di bagian dalam, tepat di atas mihrab, terpasang lafaz tauhid "Lā ilāha illā Allāh" yang dipahat di atas kepingan kayu tua berbentuk hati.

Warna kayunya sudah menggelap, tapi ukiran huruf Arab itu masih tajam dan utuh. Inilah salah satu peninggalan asli dari masa awal masjid berdiri, yang tetap dirawat.

Meski bentuk fisik masjid telah banyak berubah, fungsinya sebagai pusat kehidupan spiritual warga tetap kuat. Pengajian rutin, Maulid Nabi dengan rebana, Sedekah Tolak Bala dan Sedekah Kupat, bahkan prosesi cukur rambut bayi, semuanya berakar di masjid ini. Setiap kegiatan bukan hanya ibadah, tetapi juga ritual budaya yang mengikat ingatan kolektif.

Bagi warga Karadenan, terutama RW IV, masjid ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah penanda warisan, tempat berkumpulnya trah Raden yang hidup bukan dari silsilah kosong, tetapi dari jejak nyata.

Nama Raden yang tersebar di gang-gang sekitar bukan tempelan, tapi kelanjutan dari Mbah Raden Syafe'i yang dimakamkan di sini. 'Setiap nama gang diberi nama sesuai dengan banyaknya keturunan raden yang ada di plang penunjuk jalan," kata Haji Dadang.

Masjid Al Atiqiyah tak lagi kuno secara rupa. Tapi jiwanya tetap tua dan tetap hidup.

(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads