Kematian Raya (4), bocah asal Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi yang tubuhnya dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides), bukan sekadar cerita pilu keluarga miskin yang kalah melawan penyakit.
Tragedi ini membuka kedok bahwa perlindungan anak dari parasit tidak berhenti pada gizi saja, tetapi juga menyangkut sanitasi, pelayanan kesehatan, hingga kebijakan sosial yang bolong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Raya menghembuskan napas terakhir setelah dirawat intensif di RSUD R Syamsudin SH, Kota Sukabumi. Ia datang dalam kondisi sudah tak sadarkan diri.
Menurut catatan medis, tubuh mungilnya dipenuhi cacing yang bahkan keluar melalui hidung dan anus. Kondisi itu menandakan infeksi telah menyebar luas, bahkan mencapai otak.
"Raya itu diantar ke IGD tanggal 13 Juli 2025. Ketika datang sudah tidak sadar, menurut keluarga sudah sejak sehari sebelumnya. Tanda vitalnya drop, kita lakukan tata laksana darurat, infus, observasi, lalu konsul ke dokter anak. Baru kemudian masuk ruang PICU," jelas dr Irfanugraha Triputra, Ketua Tim Penanganan Keluhan RSUD R Syamsudin SH kepada detikJabar, Rabu (20/8/2025).
Cacing yang Bisa Menembus Otak
Kasus Raya dianggap langka. Dokter Irfan menjelaskan, umumnya infeksi cacing bisa diatasi sejak dini di puskesmas. Namun pada Raya, kondisinya sudah sangat berat.
"Ascaris hanya bisa hidup di tanah. Penularannya lewat telur yang masuk ke tubuh, entah dari makanan, benda asing, atau tangan yang kotor. Begitu masuk saluran cerna, dalam 20 hari bisa berkembang jadi cacing dewasa. Fasenya dari telur ke larva. Nah, larva inilah yang berpotensi menyebar ke seluruh tubuh lewat pembuluh darah. Bisa ke ginjal, hati, bahkan otak," kata Irfan.
![]() |
Asumsi terburuk, kata dia, saat cacing sudah keluar lewat saluran pernapasan berarti penyebarannya sudah mencapai otak.
"Jumlahnya? Dari CT scan kita hanya bisa memvisualisasikan ada sesuatu, tapi tidak bisa menghitung pasti. Yang jelas sangat banyak, di hampir semua organ vital," tambahnya.
Medis Bertarung dengan Birokrasi
Di balik upaya penyelamatan medis, terselip kenyataan pahit. Keluarga Raya tidak memiliki identitas lengkap untuk mendaftar BPJS. Rumah sakit memberi tenggat 3x24 jam, namun proses administrasi macet.
Akhirnya, biaya perawatan ditanggung lembaga sosial Rumah Teduh sebesar Rp15 juta dari yang awalnya Rp23 juta.
"Kami beri keringanan. Karena memang sulit, sejak awal identitasnya tidak jelas. Rumah Teduh yang akhirnya menalangi," jelas Irfan.
Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Infeksi
Kisah Raya menyingkap irisan masalah yang jarang disorot. Ia tinggal di rumah panggung sederhana dengan lantai tanah, lingkungan ideal bagi telur cacing berkembang biak. Orang tuanya pun sedang bergulat dengan penyakit tuberkulosis dan keterbelakangan mental, membuat kondisi keluarga semakin rentan.
"Infeksi cacing sebenarnya sering ditemui di faskes tingkat satu. Tapi untuk kasus seberat Raya, sangat jarang. Biasanya orang tua membawa anak sebelum parah. Ini sudah terlalu berat," ujar Irfan.
Kini, Raya sudah pergi. Namun kepergiannya menyisakan pertanyaan: sampai kapan anak-anak dari keluarga miskin harus berjuang sendirian menghadapi penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan sanitasi, akses kesehatan dasar, dan kebijakan yang berpihak pada mereka?
(dir/dir)