Bau tak sedap sudah tercium dari jarak beberapa kilometer sebelum area TPA Sarimukti. Sebuah kawasan dengan luas puluhan hektare yang disulap menjadi tempat penampungan sampah se-Bandung Raya.
Salah satu daerah di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang dikenal karena kesan jorok dan tak sehat. Namanya tempat sampah, tentu tak ada yang melirik sama sekali. Namun di baliknya, ratusan orang menggantungkan hidup.
Jauh dari ingar-bingar pesta dan upacara peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, para pemulung TPA Sarimukti juga enggan ketinggalan euforia tahunan yang digadang-gadang sebagai sarana mengingat perjuangan para pendahulu merebut kemerdekaan dari penjajah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya mengendarai sepeda motor menuju Kampung Ciherang, sebuah kawasan hunian para pemulung TPA Sarimukti. Di tengah jalan, ada beberapa orang berbaju loreng berjalan sembari mendorong sebuah ogoh-ogoh berbentuk pesawat tempur.
Saya tak terlalu memperhatikan apakah itu tentara asli atau bukan. 10 menit kemudian saya masuk ke Kampung Ciherang. Gapura bambu sederhana dicat merah putih menyambut. Motor saya parkir di depan sebuah warung sederhana milik Ketua RW.
Kaki menapak tanah merah, angin panas menerpa badan, tak ada segar-segarnya. Saya menyapa Nandang Beceng, sang Ketua RW yang duduk di sofa butut depan rumahnya. Ia cuma memakai kaus kutang berwarna putih. Tentu karena gerah.
Tak berselang lama, tentara dan pesawat tempur itu datang ke kampung pemulung itu. Ternyata mereka merupakan para pemulung yang diutus mengikuti upacara peringatan HUT kemerdekaan di lapangan Desa Sarimukti. Sementara ogoh-ogoh itu merupakan kreasi yang diikutsertakan dalam lomba ogoh-ogoh.
"Iya baru selesai upacara sama lomba (ogoh-ogoh). Cuma enggak menang," kata Wiwi, salah seorang pemulung yang diutus ke tempat pelaksanaan kegiatan saat ditemui, Minggu (17/8/2025).
Pria 42 tahun itu lalu duduk di gubuk bambu. Dari kejauhan terlihat jelas ia amat kelelahan. Wiwi lalu dipanggil untuk menerima sekantong plastik kecil minuman rasa mangga yang dibuat pemilik warung.
"Capek, panas, soalnya didorong (ogoh-ogohnya). Lumayan sekitar 2 sampai 3 kilometer, enggak menang. Jadi makin kecewa," kata Wiwi.
Tak masalah, yang penting setiap tahun, sejak 3 tahun belakangan ia dan para pemulung TPA Sarimukti yang bermukim di Kampung Ciherang tak pernah absen menyumbang kreasi. 3 tahun lalu mereka membuat ogoh-ogoh berbentuk seorang pejuang yang tewas tertusuk senjata penjajah. Di tahun kedua mereka membuat tank baja, dan tahun ini pesawat tempur. Sama sekali tak ada yang pernah diapresiasi, apalagi jadi pemenang.
"Kalau dibanding dengan yang lain, mungkin kami salah satu yang paling bagus. Tapi enggak apa-apa, minimal orang-orang tahu kami pemulung dari Kampung Ciherang itu semangat memeriahkan 17 Agustusan," kata Wiwi.
Di usia negara yang sudah 80 tahun, Wiwi mengharap sedikit perhatian dari pemerintah buat rakyat kecil seperti dirinya. Warga negara yang luput dari pandangan pars pejabat negeri yang berkantor di gedung-gedung mewah.
"Ya harapannya supaya diperhatikan pemerintah, kami kerja di sini sebagai pemulung bukan karena kemauan, tapi terpaksa. Kalau enggak begini, enggak bisa makan. Kasihan anak istri," ucap pria asal Cimahi itu.
Merasa Dianaktirikan
Nandang Beceng, bertanggungjawab atas 170-an jiwa penghuni Kampung Ciherang. Meskipun secara administrasi, mereka tak terdata sebagai warga Desa Sarimukti, namun keberadaan mereka nyata dan tak bisa diabaikan.
"Jujur, kami merasa dianaktirikan. Memang kami diajak kalau ada acara seperti ini, cuma kalau ada bantuan, tidak ada, kami ingin diakui," kata Nandang.
![]() |
Kampung itu berdiri atas dasar keterpaksaan. Para pemulung datang dari berbagai daerah mengadu nasib demi bisa bertahan hidup, minimal untuk hari ini. Nasib hari esok bisa dipikirkan setelah hari ini selesai.
"Kami tidak menuntut macam-macam, cuma butuh pengakuan dari pemerintahan saja. Jangankan bantuan, belum pernah ada pemerintah yang menengok kami di sini, seolah-olah kami ini tidak ada, padahal kami jelas-jelas ada di sini," kata Nandang.
Administrasi seharusnya tak perlu selalu dipersoalkan. Nandang mengakui kebanyakan warga Kampung Ciherang berasal dari luar Bandung Barat. Sebut saja Cianjur, Sukabumi, Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung.
"Namun mereka ini kan masih warga negara Indonesia. Saya masih warga KBB, asli orang Sarimukti, tapi sama sekali tak diperhatikan. Jangan terus kami dianaktirikan. Harapan kami di usia Indonesia yang ke-80 tahun, dan KBB yang juga baru berulang tahun, kami minta diperhatikan dan diakui. Itu saja cukup," ujar Nandang.
Simak Video "Video Baru Rilis Trailer, Film Animasi 'Merah Putih' Banjir Kritikan"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)