Kesenjangan Digital Persempit Peluang Desa untuk Berkembang

Desa Susah Sinyal di Jabar

Kesenjangan Digital Persempit Peluang Desa untuk Berkembang

Nur Khansa Ranawati - detikJabar
Minggu, 03 Agu 2025 16:00 WIB
Anak anak di kampung susah sinyal berkumpul di lapangan untuk mencari jaringan Internet
Anak anak di kampung susah sinyal berkumpul di lapang untuk mencari jaringan Internet (Foto: Ikbal Selamet/detikJabar)
Bandung -

Di berbagai wilayah di Jawa Barat, kesenjangan akses internet atau digital divide antara desa dan kota masih menjadi masalah serius yang belum sepenuhnya tertangani. Di antara warga kota yang terbiasa dengan layanan daring serba cepat, banyak masyarakat desa yang masih berkutat pada keterbatasan sinyal atau bahkan nihil internet.

Ahli perdesaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tubagus Furqon Sofhani mencontohkan bahwa masih ada sejumlah desa yang kesulitan bahkan untuk sekedar membuka aplikasi pesan instan. Alhasil, bila membutuhkan akses internet, warga harus menaruh ponsel mereka di tempat tertentu selama setidaknya satu jam sebelum pesan instan kemudian bermunculan.

"Untuk membuka pesan WhatsApp saja itu di beberapa tempat sangat sulit, warga harus datang ke tempat-tempat tertentu. Apalagi untuk aplikasi seperti YouTube begitu ya jelas tidak bisa," ungkapnya ketika dihubungi detikJabar, Selasa (1/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain akses yang terbatas, beberapa daerah bahkan masih ada yang tidak memiliki akses internet sama sekali alias blank spot. Furqon memaparkan, ketimpangan digital ini dapat mempersempit peluang desa tersebut untuk berkembang. Pasalnya, sangat banyak akses pengetahuan hingga kesempatan untuk berniaga yang terbuka bila seseorang terkoneksi dengan internet.

"Mereka bisa tertinggal banyak hal karena saat ini sangat banyak layanan yang berbasis internet. Seperti pembelajaran online hingga akses kesehatan yang lebih murah dan cepat," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Di bidang ekonomi, ia mengatakan, ketertinggalan akan semakin terasa mengingat pesatnya perkembangan e-commerce saat ini yang memungkinkan seseorang untuk melakukan aktivitas jual-beli dengan lebih leluasa.

"Kita lihat dari sisi pendidikan sebagai sumber pengetahuan, dari sisi layanan kesehatan hingga pemanfaatan peluang-peluang ekonomi. Sehingga desa yang tidak memiliki akses internet akan semakin ketinggalan," paparnya.

Ia menjelaskan, ketertinggalan dari sisi layanan digital tersebut tidak serta-merta berarti menghambat aktivitas desa dan masyarakatnya. Pasalnya, desa-desa yang saat ini sangat minim atau bahkan nihil akses internet telah terbiasa berkegiatan tanpa terhubung dan mengandalkan dunia maya.

Mayoritas mata pencaharian masyarakat di kawasan tersebut, ia mengatakan, adalah di bidang pertanian dan perkebunan. Kegiatan seperti sekolah pun masih 100 persen memanfaatkan belajar mengajar secara tatap muka.
Pun masyarakatnya, ia mengatakan, tak jarang yang tidak memiliki ponsel. Atau, satu ponsel digunakan bersamaan oleh satu rumah, seperti layaknya telepon rumah.

"Jadi sebenarnya (ketiadaan internet) itu bukan menghambat perkembangan, karena hidup mereka sudah biasa berjalan tanpa internet. Tapi mereka akhirnya tidak bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada dari kehadiran internet," jelasnya.

Padahal bila digunakan secara tepat, ia memaparkan, akses internet sangat bisa dimanfaatkan untuk memperluas akses pengetahuan masyarakat hingga meningkatkan kemajuan ekonomi desa.

Bergantung Political Will Pemerintah

Upaya memperluas akses internet ke wilayah pedesaan, menurut Tubagus Furqon Sofhani, bukan perkara yang bisa diselesaikan secara mandiri oleh desa. Ia menyebut, tantangan biaya, kondisi geografis yang sulit, dan minimnya infrastruktur dasar membuat masyarakat desa tidak memiliki banyak pilihan selain menunggu kehadiran negara atau dukungan dari pihak luar.

"Sejauh ini pengadaan akses internet akhirnya pasif, menunggu dari pemerintah. Karena kalau mau berupaya membangun infrastruktur sendiri, misalnya pakai dana desa, itu akan mahal sekali. Akhirnya pasti bergantung pada pemerintah atau kerjasama dengan pihak swasta," jelas Furqon.

Ia mencontohkan pengalamannya mendampingi desa binaan di Desa Simpang, Kabupaten Garut. Keterbatasan internet membuat kolaborasi pihak organisasi sosial dan NGO menginsiasi pemasangan internet satelit Starlink di kawasan tersebut.

"Di daerah binaan kami sudah lama internetnya bermasalah sekali, akhirnya dipasang Starlink. Tapi ini biayanya memang mahal," jelasnya.

Sehingga, ia mengatakan, prioritas anggaran pemerintah akan sangat berpengaruh pada pengentasan kesenjangan digital. Agar segera teratasi, diperlukan political will yang kuat agar pengadaan infrastruktur internet bisa segera hadir di daerah-daerah blank spot.

"Sekarang kan sulit dilakukan karena dana terbatas, terlebih ada program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis. Kalau pemerintah tidak mampu pakai APBN dan APBD, harus bisa kerjasama dengan lembaga-lembaga swasta atau NGO untuk bersama-sama menyediakan akses internet ke tempat-tempat tersebut," paparnya.

Perlu Pendampingan

Furqon menegaskan bahwa sekadar tersedianya internet di desa bukan berarti otomatis akan membawa kemajuan. Ia menyebut bahwa faktor literasi digital masyarakat menjadi sangat penting, bahkan krusial, agar kehadiran internet benar-benar bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan.

Ia menilai, tidak sedikit desa yang secara teknis sudah memiliki akses internet, namun belum mengalami peningkatan kualitas hidup atau ekonomi karena masyarakatnya belum mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi tersebut.

"Desa-desa atau internet yang internetnya bagus belum tentu kualitasnya meningkat dan ekonominya bagus, tergantung dari literasi internet mereka. Bisa atau tidak memanfaatkan internet menjadi sesuatu yang produktif," tutur Furqon.

Menurutnya, internet akan berdampak positif apabila dibarengi dengan edukasi tentang penggunaannya secara bijak. Untuk itu, Furqon mengusulkan agar proses edukasi penggunaan internet dapat diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan desa.

Sehingga, ketika internet hadir di kawasan-kawasan blank spot, masyarakat tidak akan "gagap" dan terjerumus kepada pemanfaatan internet yang tidak produktif.

"Literasi internet perlu diintegrasikan pada pendidikan di sekolah. Bagaimana cara memakai internet dengan tepat, dipraktikkan langsung di sekolah. Sehingga siswa dan guru tahu situs-situs mana saja yang bisa diamanfaatkan untuk belajar," jelasnya.

Ia juga menyarankan agar unsur desa hingga perguruan tinggi bisa turut aktif melalui program pengabdian masyarakat untuk memberi bimbingan kepada warga desa agar mampu menggunakan internet secara cerdas dan tepat sasaran.

"Sebaiknya unit-unit pelayanan hingga kepala desa bisa menginisiasi berbagai macam edukasi tentang kehadiran internet. Perguruan tinggi juga bisa melakukan pengabdian masyarakat untuk mengedukasi bagaimana warga bisa manfaatkan internet dengan bijak," paparnya.

Ia menekankan bahwa keberadaan internet tanpa pendampingan bisa menyebabkan dampak negatif terhadap tatanan sosial. Ia menyebut bahwa masyarakat desa yang tidak dibekali literasi kritis bisa terdampak pada perubahan persepsi, nilai, dan gaya hidup secara tidak disadari.

"Kalau tidak ada edukasi, dikhawatirkan bisa terjadi pergeseran value dari norma yang dianggap benar di masyarakat itu. Televisi saja yang tidak semasif internet, pengaruhnya besar. Apalagi internet, orang bisa di kamar masing-masing cari sumber pengetahuan macam-macam, itu jadi tantangan tersendiri," pungkasnya.

(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads