Pengibaran Bendera One Piece, di Antara Kritik hingga Fomo

Pengibaran Bendera One Piece, di Antara Kritik hingga Fomo

Wisma Putra - detikJabar
Jumat, 01 Agu 2025 18:00 WIB
Heboh di media sosial warga di sejumlah wilayah di Indonesia mengibarkan bendera One Piece menjelang HUT RI 17 Agustus. (Tangkapan layar Instragram)
Foto: Heboh di media sosial warga di sejumlah wilayah di Indonesia mengibarkan bendera One Piece menjelang HUT RI 17 Agustus. (Tangkapan layar Instragram)
Bandung -

Akhir-akhir ini, jagat maya sedang dihebohkan fenomena pengibaran 'Jolly Roger', bendera legendaris dari anime One Piece. Bendera hitam bergambar tengkorak dan topi jerami itu banyak dipasang di depan rumah warga, bahkan mobil dan truk yang melintas di jalan raya.

Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad Prof Muradi mengatakan, ada dua makna yang dia lihat dari pengibaran bendera itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau ngelihat maknanya kan ada dua. Ada makna kebebasan, macam-macam, yang positif. Tapi di sisi lain ada makna negatif. Makna negatif itu makna kemudian dia dianggap sebagai satire, ya untuk mengatakan bahwa secara prinsipil yang memasang bendera, terutama bendera One Piece itu merasa kemudian tidak dalam kondisi yang baik-baik saja atau bisa merasa tertindas, merasa tertekan, merasa dijajah dan sebagainya," kata Muradi kepada detikJabar, Jumat (1/8/2025).

"Nah, kalau ngelihat pola itu, maka sebenarnya kita melihat dua hal itu. Apakah orang kemudian merasa memasang bendera One Piece itu adalah bagian dari kritik ke pemerintah, berkaitan dengan kebijakan yang ada," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Muradi menyebut, akhir-akhir ini banyak keresahan yang timbul di muka publik diakibatkan program yang dikeluarkan pemerintah.

"Pertama, teman-teman ojol, kedua teman-teman ODOL, maksudnya truk-truk besar yang kemudian mendapatkan kebijakan yang dianggap tidak berpihak ke mereka, dan kemudian beberapa teman-teman aktivis, mahasiswa, HAM dan sebagainya," ujarnya.

Selain itu, ada pihak yang menurutnya belum paham atau asal ikut-ikutan meramaikan. "Nah, yang lain kan maknanya belum paham. Jadi kalau ditanya apakah implikasinya, saya sih merasa bahwa proses itu harus dinilai sebagai bagian otokritik ke negara saja, ke pemerintah," ucapnya.

Dalam hal ini, menurut Muradi, pemerintah jangan merespons terlalu vulgar atau terlalu berlebihan. Sebab pada momen 17 Agustus dianggap sebagai momen untuk kemudian mengevaluasi diri, mengevaluasi kebijakan, dan seterusnya.

"Saya melihatnya dua sisi tadi, bahwa ini adalah bagian dari kritik masyarakat yang kemudian nggak bisa lagi misalnya melakukan kritik terbuka. Terbuka itu misalnya begini contohnya mengkritik di sosial media, itu kan yang dihajar buzzer-buzzer pemerintah banyak, yang kemudian kritik terbuka di publik, pulangnya dikuntit gitu loh, pulangnya atau prosesnya diintimidasi dan sebagainya," jelasnya.

"Artinya memang ini adalah bagian yang kemudian, saya sih nyebutnya selemah-lemahnya iman untuk melakukan bahwa ada yang kurang pas dengan kebijakan pemerintahan hari ini, Itu yang kemudian direspons dalam bentuk pemasangan benda One Piece bersama dengan bendera merah putih," tambah Muradi.

Banyak yang Fomo

Sementara itu, Muradi membenarkan banyak yang fomo atau ikut-ikutan meramaikan fenomena pengibaran bendera One Piece tanpa mengetahui makna dari pengibaran bendera tersebut.

"Menurut saya ini momentum buat pemerintah, untuk tidak merespons berlebihan. Karena begitu berlebihan, mereka akan kemudian curious. Begitu curious kan, ya akhirnya jadi viral. Kalau menurut saya, itu dianggap sebagai masukan, otokritik, dan otokritik kebijakan yang ada," tuturnya.

"Jika direspons berlebihan, maka orang kemudian ada curious-nya. Begitu curious, tertarik, penasaran dan segala macam, maka itu kemudian menjadi isu yang berbeda. Artinya sebenarnya ini kan masih sifatnya segmented ya, tadi yang saya bilang ada truk ODOL, ada ojol, ada aktivis mahasiswa yang kemudian merasa diintimidasi kemudian aktivis HAM dan lainnya," terangnya.

Menurut Muradi, di Indonesia jika tidak suka biasanya bendera merah putih setengah tiang, bukan memasang bendera lainnya.

"Kan itu nggak terjadi, kalau misalnya kita gak suka pemerintah kita, kebijakan harusnya bikin bendera merah putih setengah tiang gitu. Kan itu nggak, justru kemudian dorong adalah mengibarkan bendera One Piece," tuturnya.

Bahkan menurut Muradi, pengibaran bendera One Piece dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat.

"Sebenarnya seolah-olah kalau orang awam, naon sih itu, apa sih gitu (bingung). Tapi sebenarnya penuh makna. Jadi yang kemudian perlu direspons secara positif, secara normatif oleh pemerintah supaya tidak membuat masyarakat penasaran. Begitu penasaran malah viral ke mana-mana dan akhirnya malah nilai menilai pemerintahnya dalam konteks kebijakan baik-buruk itu kemudian tidak tercapai," pungkasnya.

(wip/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads