Menyusuri jalanan Kota Bandung di pagi atau sore hari sudah seperti menyiapkan diri untuk menghadapi ujian kesabaran. Jalanan dari ujung timur hingga barat Kota Bandung tak pernah sepi setiap hari dan membuat kemacetan menjadi pemandangan yang semakin lazim.
Tak heran jika Bandung akhirnya menempati peringkat pertama sebagai kota termacet di Indonesia versi TomTom Traffic Index 2024, dengan rata-rata waktu tempuh 32 menit 37 detik hanya untuk jarak 10 kilometer.
Wakil Ketua DPRD Kota Bandung Edwin Senjaya tak menampik kondisi ini. Menurutnya, kemacetan di kota besar seperti Bandung adalah konsekuensi logis dari pertumbuhan kota itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kota besar di mana pun tidak akan bisa lepas dari masalah macet. Ini sudah hukum alam. Semakin besar kotanya, makin banyak penduduknya, makin banyak kendaraannya, pasti macet akan terjadi," ujar Edwin, Kamis (10/7/2025).
Edwin menyebut contoh kota-kota besar dunia seperti New York dan Tokyo yang juga menghadapi kemacetan. Namun, bedanya, mereka memiliki sistem transportasi umum yang jauh lebih baik dan efisien.
Di Bandung, kata dia, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kemacetan, meski penambahan jalan hampir tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan ruang.
"Kondisi di Kota Bandung ini yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir kemacetan itu. Pertama, ruas jalan yang kita miliki kan nggak bisa banyak berubah karena kondisinya seperti itu, gak mungkin menambah ruas jalan," jelas Edwin.
Menurutnya, salah satu faktor penyumbang kemacetan di Bandung adalah statusnya sebagai kota wisata. Setiap akhir pekan, ribuan kendaraan dari luar kota masuk dan menambah beban lalu lintas.
Untuk itu, Edwin mengusulkan beberapa solusi. Salah satunya adalah rekayasa lalu lintas yang dilakukan secara berkala dengan koordinasi bersama kepolisian. Selain itu, ia juga mendorong kajian serius terhadap penerapan sistem ganjil-genap seperti di Jakarta.
"Kalau saya lihat memang kondisi macet di Kota Bandung itu saat jam masuk sekolah dan jam pulang kerja. Artinya pagi dan sore, bisa saja diberlakukan di situ menggunakan metode ganjil genap, namun harus berdasarkan kajian," katanya.
Tak hanya itu, Edwin juga menyinggung wacana pembangunan tol dalam kota yang menghubungkan kawasan Ujungberung hingga Pasteur sebagai solusi jangka panjang. Namun, ia mengakui proyek ini akan menuntut anggaran besar, terutama untuk pembebasan lahan.
Lebih lanjut, Edwin menyoroti pentingnya pembenahan transportasi umum di Bandung yang menurutnya masih belum memadai. Kondisi ini membuat masyarakat tidak tertarik menggunakan transportasi umum dan memiliki memakai kendaraan pribadi.
"Belum, jujur saja belum. Itu mungkin yang membuat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Kalau di negara maju seperti Singapura, masyarakat itu seperti enggan menggunakan kendaraan pribadi, mereka lebih suka menggunakan transportasi umum karena fasilitas mudah dan harga murah. Ini yang harus dikejar,' ucapnya.
Baginya, kemacetan di Kota Bandung bukan hal yang bisa dihapus sepenuhnya. Namun dengan perencanaan matang dan kebijakan berbasis data, beban lalu lintas setidaknya bisa dikurangi.
"Saya kira macet ini tidak bisa hilang sepenuhnya di Kota Bandung, hanya bisa diminimalisir," tutup Edwin.
(bba/sud)