Momen jelang Lebaran seharusnya menjadi masa panen bagi para pekerja sektor transportasi di Kabupaten Sukabumi. Tapi tahun ini, suasana berbeda terasa di pangkalan ojek Bagbagan Mariuk, Kecamatan Simpenan.
Iwan, salah seorang pelaku transportasi informal ojek pangkalan, hanya bisa memandangi jalanan yang lalu-lalang tanpa banyak penumpang singgah.
Ia mengaku penghasilannya merosot tajam dibanding beberapa tahun silam. Dulu, menjelang Lebaran, sehari bisa mengantongi uang ratusan ribu rupiah dari jasa antar jemput ke terminal atau titik mudik. Kini, yang ia bawa pulang hanya puluhan ribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu kalau H-3 mah ramai, benar-benar ramai. Tapi sekarang habis semua sama taksi gelap. Mereka jemput sampai ke rumah, ke pelosok juga bisa. Ya kita kalah," keluh Iwan, saat ditemui detikJabar, Kamis (27/3/2025).
Fenomena menjamurnya taksi gelap yang beroperasi telah memukul pendapatan ojek dan angkutan umum. Bagi ojek seperti Iwan, kehadiran taksi gelap telah memotong jalur rezeki secara langsung. Penumpang tidak lagi perlu ke terminal.
"Mereka tinggal tunggu di rumah, dijemput, dan langsung diantar ke tujuan. Memang mudah, tapi tidak menguntungkan bagi kami," lirihnya.
Iwan masih setia menunggu. Sesekali matanya menatap ke jalan, berharap ada penumpang yang membutuhkan jasa ojeknya.
"Ya gimana lagi, harapannya ya paling pemerintah bisa bantu. Kalau terus kayak gini, lama-lama kami bisa habis," katanya lirih, menyuarakan keresahan banyak pekerja transportasi seperti dia.
Hal serupa dirasakan pengurus angkutan umum bus. Ade Acong, pengurus perusahaan otobus MGI di Terminal Palabuhanratu, menyebut kondisi jelang Lebaran kali ini sangat jauh berbeda dibanding masa-masa sebelum taksi gelap merajalela.
"Harusnya H-3 ini sudah full, rame. Tapi sekarang mah sepi. Tahun-tahun dulu mah penumpang turun di terminal sampai membludak, sekarang mah enggak ada sistem begitu lagi," katanya.
Dulu, satu armada bus bisa mendapatkan sewa hingga lebih dari 30 penumpang. Kini, angka itu tinggal setengahnya. Jurusan populer seperti Bogor-Sukabumi pun tak lagi ramai. Banyak armada memilih tidak jalan daripada rugi di tengah biaya operasional yang terus berjalan.
Ade menyebut persoalan ini bukan hanya merugikan perusahaan, tapi juga negara. Taksi gelap tidak menyumbang pendapatan ke kas daerah, tidak membayar retribusi terminal, tidak melalui uji KIR rutin, dan tak memiliki izin resmi. Namun kenyataannya, layanan mereka justru lebih diminati karena menawarkan kemudahan.
"Masyarakat sekarang memang merasa nyaman karena bisa sampai langsung ke rumah. Tapi itu ilegal, dan dampaknya besar sekali buat kami yang resmi," ujarnya.
Di tengah kondisi ini, para pelaku transportasi resmi hanya bisa berharap. Mereka tidak menuntut penghapusan taksi gelap, tapi mendambakan penataan yang adil dan pengawasan yang lebih ketat. "Kami hanya berharap kepada para pemilik aturan agar tidak tinggal diam melihat pergeseran ini semakin menekan kami yang taat aturan," lirihnya.
Catatan detikJabar , kepolisian sebenarnya tidak tinggal diam. Sepanjang tahun ini saja, sejumlah kendaraan yang diduga sebagai taksi gelap telah diamankan. Dalam sebuah operasi pada awal Februari 2025, Satlantas Polres Sukabumi menindak lima kendaraan di beberapa titik yang diduga kuat melayani angkutan ilegal.
Kasat Lantas Polres Sukabumi, AKP Arif Saepul Haris, mengatakan kendaraan yang digunakan sebagai taksi gelap tidak memiliki izin operasional dari pemerintah. Akibatnya, jika terjadi kecelakaan, penumpang tidak dijamin oleh asuransi.
"Selain itu, taksi gelap juga tidak memiliki standar keamanan yang layak. Banyak di antaranya menggunakan kendaraan yang tidak lolos uji kelayakan jalan, dan dikemudikan oleh sopir tanpa pelatihan khusus. Hal ini membuat keselamatan penumpang menjadi sangat rentan," jelas Arif dalam keterangan tertulis kepada detikJabar.
Menurut Arif, meski menawarkan tarif yang relatif lebih terjangkau, pelayanan dalam taksi gelap belum tentu optimal. Dalam jangka panjang, keberadaan mereka juga merusak ekosistem angkutan umum darat yang sudah resmi dan taat aturan.
"Lebih dari itu, sejumlah kasus kriminalitas pernah terjadi di dalam taksi gelap, di mana penumpang menjadi korban karena minimnya pengawasan terhadap pengemudi dan kendaraan," ungkapnya
Dalam penindakannya, polisi mengacu pada sejumlah regulasi hukum. Di antaranya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106, yang mengatur sanksi administratif dan pidana bagi kendaraan yang tidak memiliki izin resmi.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Pasal 23 Ayat 1 mewajibkan setiap penyelenggara angkutan umum memiliki izin operasional dari pemerintah.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 308 KUHP, yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda hingga Rp 3 juta.
(sya/sud)