Kabar Internasional

Ngeri! Pria Palestina Hidup dengan Peluru Bersarang di Kepala

Suci Risanti Rahmadania - detikJabar
Senin, 17 Mar 2025 20:00 WIB
Ilustrasi pistol. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Prathaan)
Jakarta -

Pengalaman ngeri dirasakan seorang remaja Palestina. Ia hidup dengan peluru bersarang di kepala.

Tak tanggung-tanggung, peluru itu tinggal di dalam kepalanya selama empat bulan. Pada akhirnya, peluru itu berhasil dikeluarkan.

Dikutip dari detikHealth, remaja bernama Sarah Al-Awady (18) tahun itu mengaku bahwa ia mendapat peluru yang bercokol di kepalanya saat ia sedang duduk bersama keluarganya pada pagi hari, 22 Oktober 2024. Saat itu, kamp pengungsian mereka di Al-Zawaida diberondong oleh drone quadcopter Israel.

"Tiba-tiba saya merasakan sakit di kepala saya, seperti dipukul dengan batang besi atau semacamnya," katanya kepada CBS News.

"Keluarga saya mulai berteriak, 'peluru, peluru!' Semua orang panik dan mereka menggendong saya dan membawa saya ke Rumah Sakit Shuhada al-Aqsa," ucapnya.

Pasca kejadian itu, Al-Awady dan keluarganya berupaya mencari pertolongan medis. Namun, karena kondisi perang yang mengakibatkan pasokan medis betul-betul menipis, para dokter hanya bisa melakukan apa yang mereka bisa dengan sisa-sisa peralatan yang ada.

Mereka bisa melihat bahwa ada peluru yang bersarang di tengkorak Al-Awady di belakang mata kanannya, namun mereka tak punya kapasitas untuk mengeluarkannya.

Al-Awady akhirnya diberitahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh para dokter di Gaza untuk membantunya. Namun, ia menolak untuk menyerah dan bersikeras tetap tinggal di rumah sakit. Setidaknya, pikirnya, di dalam rumah sakit, matanya yang terluka parah akan terlindungi dari debu di rumah sementara keluarganya.

Ia akhirnya tetap dirawat di rumah sakit dan mengandalkan obat penghilang rasa sakit untuk mengatasi sakit yang dialaminya di kepala.

Pada awal November 2024, tim relawan medis menemukan Al-Awady dan yakin dapat membantu mengeluarkan peluru di kepalanya. Seorang dokter Mesir, Mohamed Tawfik, saat itu menelepon ayahnya yang merupakan dokter mata untuk meminta bantuan.

Ayah Dokter Tawfik, Ahmed Tawfik, mengatakan kepada CBS News bahwa dia ingin pergi ke Gaza untuk membantu namun tak bisa karena perbatasan Rafah ditutup. Perbatasan Rafah menghubungkan antara Mesir dan Palestina.

"Saya mengikuti kasus ini hampir setiap hari. Saya merasa ini adalah kasus saya," kata Tawfik.

Waktu terus berjalan dan agresi Israel terus membara. Pada akhirnya Tawfik tak pernah bisa ke Gaza, dan putranya pun kembali ke Mesir.

Melihat kepergian dr Tawfik, Al-Awady mulai menyerah. Selama berbulan-bulan dia hidup dalam ketakutan bahwa dia akan kehilangan penglihatan di mata kanannya secara permanen.

"Saya mengajukan untuk dirawat di luar negeri, seperti yang dilakukan banyak orang lain. Ketika orang bertanya kepada saya, 'Sudah berapa lama Anda menunggu?' Saya jawab satu bulan, dan mereka akan merespons 'Lupakan saja, kami sudah menunggu lebih lama," ucapnya.

Secercah harapan akhirnya datang sekitar tiga bulan kemudian. Hamas dan Israel sepakat untuk gencatan senjata yang mulai berlaku efektif pada 19 Januari 2024.

Pada 8 Februari, ketika Al-Awady telah kembali ke rumahnya di utara Gaza, dia menerima telepon dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa ia akan berangkat keesokan harinya ke Mesir.




(suc/orb)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork