Lahan eks TPA Leuwigajah, di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi kelam oleh tragedi. Saat 20 tahun lalu, tanah yang kini rimbun oleh tanaman, merupakan kuburan bagi 157 orang.
Pilunya masih terekam jelas di memori. Nyawa yang melayang itu gegara tergulung ombak sampah yang longsor setelah sebelumnya terjadi ledakan di gunungan sampah pada 21 Februari 2005 silam.
Mereka yang tewas dalam longsor sampah itu, mayoritas merupakan pemulung. Kala itu, para korban sedang mengais rezeki dari tumpukan sampah hasil produksi daerah se-Bandung Raya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua dasawarsa sudah dilalui. Roda kehidupan keluarga yang kehilangan terus berjalan. Pun dengan lahan eks TPA Leuwigajah. Dibiarkan menjadi vegetasi bagi rerumputan dan tanaman produktif yang digarap warga.
Kepemilikan lahannya kini jelas. Ada yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Namun tak ada yang punya inisiatif menyulap lahan tersebut menjadi sesuatu yang monumental maupun bermanfaat buat masyarakat setempat.
"Sekarang tidak harus berbicara masalah siapa yang salah siapa yang tidak (soal longsor sampah TPA Leuwigajah). Sekarang, dari titik ini kami berharap tanah ini kan milik pemerintah, silakan mau diapakan sekarang," kata Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi saat berbincang dengan detikJabar, Jumat (21/2/2025).
Menurut Abah Widi, tak ada kejelasan soal rencana pemanfaatan lahan eks TPA Leuwigajah. Termasuk soal rencana pembangunan monumen peristiwa longsor sampah Cireundeu. Semua digulirkan para pemangku kebijakan. Saban taun, semuanya cuma isapan jempol belaka.
"Walaupun sekarang sudah dimanfaatkan oleh petani menjadi sumber penghasilan, tapi kan tidak seperti itu. Abah ingin jelas konsep seperti apa yang pemerintah inginkan," kata Abah Widi.
Dalam hati kecil masyarakat Kampung Adat Cireundeu, ada secercah keinginan kalau lahan itu diserahkan pemerintah pada mereka. Kalaupun tak bisa, mereka cuma meminta kebijakan pemerintah yang berdampak positif buat kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu.
"Harapan abah, pemerintah memberikan lahan itu ke (Kampung Adat) Cireundeu. Karena di Cireundeu banyak petani, yang namanya petani siap tenaga tapi kan modal pas-pasan, mungkin pemerintah bisa membantu tentang biaya kedepannya. Kalau tidak bisa, ya mungkin dibikin agrowisata dan sebagainya," kata Abah Widi.
Sempat muncul wacana lahan tersebut bakal dihidupkan kembali menjadi tempat pembuangan sampah. Hal itu mencuat di tengah permasalahan pengelolaan sampah di Bandung Raya dan overloadnya TPA Sarimukti di Bandung Barat.
"Ada yang lebih bermanfaat daripada di bikin untuk pembuangan sampah. Kalau memang dijadikan TPA lagi, tentu masyarakat di sini akan sangat menolak. Sudah cukup kami berduka dengan kejadian 2005, jangan diulangi lagi," kata Abah Widi.
Diwacanakan Jadi Lahan Konservasi Adat, Budaya, dan Lingkungan
Angin segar soal pemanfaatan lahan eks TPA Leuwigajah muncul. Meluncur dari mulut Adhitia Yudisthira, Wakil Wali Kota Cimahi periode 2025-2030 yang baru dilantik pada Kamis (20/2/2025). Di hari pertamanya bertugas, Adhit datang ke peringatan HPSN di Kampung Adat Cireundeu, Jumat (21/2/2025).
Di hadapan masyarakat dan sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Adhit mencanangkan kawasan itu menjadi kawasan Konservasi Adat dan Budaya. Selain juga sebelumnya melemparkan harapan soal pembangunan monumen peristiwa longsor sampah.
"Pada momen peringatan HPSN ini kita canangkan bahwa kawasan Cireundeu menjadi kawasan konservasi adat budaya dan lingkungan," kata Adhit saat peringatan HPSN.
"Ke depannya kita akan bikin kawasan terpadu. Jadi ada kawasan konservasinya, ada kawasan wisatanya, ada kawasan pertaniannya, dan ada kawasan untuk menjadi monumen peringatan peristiwa Leuwigajah yang menghilangkan dua desa dan ratusan korban," kata Adhit menambahkan.
Kawasan konservasi adat, budaya, dan lingkungan itu disinergikan dengan identitas Kota Cimahi yang terproyeksi dalam batik khasnya. Motif batik khas Cimahi sendiri bergambar bambu, yang memang banyak tumbuh di kota dengan tiga kecamatan itu.
"Jadi konsepnya itu nanti seperti eco wisata di Cimahi, yang sudah berjalan di Cimenteng (Cimahi Utara). Konservasi lingkungannya akan kita namai Leuweung Baraya atau Hutan Bandung Raya. Karena kan sampah yang dibuang ke Leuwigajah dulu itu dari Bandung Raya, bukan Cimahi saja," ujar Adhit.
Ia optimis konsep kawasan konservasi terpadu itu bakal bisa terealisasi. Terlebih saat ini, embrionya sudah ada dan tinggal melanjutkan. Kampung Adat Cireundeu sudah terkenal, tak cuma karena tragedinya namun juga tradisinya yang tak mengonsumsi nasi.
"Di sini saya lihat sudah ada embrionya. Sudah ada Kampung Adat Cireundeu, tinggal kita kembangkan. Sudah ada tanaman keunggulannya yaitu singkong tinggal kita kembangkan. Kemudian nanti kita akan tanam bambu di sini, karena kan Cimahi itu motif batiknya saja bambu," ujar Adhit.
Kawasan konservasi terpadu itu, kata Adhit, diharapkan bisa mulai direalisasikan pada tahun 2026 mendatang. Hal itu tak terlepas dari sistem pemerintahan yang mesti ditempuh secara birokratis dan sistematis.
"Untuk pengerjaannya balik lagi kepada sistem pemerintahan, tentu kita harus bikin dulu studi kelayakannya (Feasibility Study), kemudian DED-nya (Detail Engineering Design), dan lain sebagainya. Mudah-mudahan tahun depan kita sudah bisa mulai bangun di sini. Mulai dari monumen peringatannya, dan zona-zonanya untuk hutan bambu dan lahan pertaniannya," ujar Adhit.
(iqk/iqk)