Dua dekade sudah peristiwa kelam petaka longsor sampah di TPA Leuwigajah, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, terjadi. Lukanya lekat di ingatan. Gegara kejadian pada 21 Februari tahun 2005 silam, ratusan nyawa melayang. Ada yang bilang 147, ada yang bilang 157, ada yang bilang lebih dari itu. Tapi satu yang pasti, duka masih dirasakan keluarga yang ditinggalkan.
Mereka yang tewas dalam longsor sampah itu, mayoritas merupakan pemulung. Kala itu, para korban sedang mengais rezeki dari tumpukan sampah hasil produksi daerah se-Bandung Raya.
Dari penuturan saksi mata yang kini masih terus melanjutkan hidup, longsor sampah terjadi pada 21 Februari dini hari. Hujan rintik turun sejak sehari sebelumnya. Di kaki gunung sampah, ada dua desa tempat ratusan orang tinggal.
Saat semua mata masih terlelap, tiba-tiba ledakan memekakkan telinga terjadi. Sejurus kemudian, sampah yang menggunung dengan ketinggian puluhan meter longsor. Tsunami sampah menyapu tubuh-tubuh rapuh di hadapan amuk alam.
Ratusan nyawa melayang menghadap Yang Maha Kuasa. Ada yang tubuhnya ditemukan, sebagian lagi diyakini masih tertimbun. Dua desa yang secara administratif sebagian masuk wilayah Kabupaten Bandung dan sebagian lagi Kota Cimahi, rata tak bersisa.
"Ya tidak terasa, sudah 20 tahun lalu kejadiannya. Tapi buat kami yang kehilangan sanak saudara, rasanya seperti baru kemarin," kata Ogi, warga Kampung Adat Cireundeu yang keluarganya jadi korban longsor sampah saat berbincang dengan detikJabar, Jumatan (21/2/2025).
Anggota keluarganya yang jadi korban, saat itu bermukim di Kampung Cilimus. Kini kampung itu hanya tinggal nama. Tak ada jejak sejarahnya. Di atasnya sekarang tumbuh tanaman yang rimbun, menghampar hijau bila dilihat dari ketinggian. "Saudara yang jadi korban itu tinggalnya di Cilimus. Jadi pas kejadian memang semua sedang istirahat, karena kejadiannya kan tengah malam, kondisi sedang hujan," ujar Ogi.
Serupa dengan Ogi, Triana Santika juga merasakan pilu saat mendengar kabar tewasnya sanak saudara secara tragis. Duka masih dirasakan kendari 20 tahun telah berlalu. "Yang jadi korban itu saudara dari bapak, kebetulan kan tinggalnya memang di Kampung Cilimus," kata Triana.
Pengumuman soal insiden itu langsung ramai. Tak seperti sekarang melalui pesan singkat di layar ponsel, dulu harus menggunakan pengeras suara yang ada di masjid. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kota Cimahi, dan daerah tetangga semua datang meninjau lokasi. Upaya pencarian jasad korban yang tertimbun dilakukan menggunakan alat berat.
Ekskavator menggaruk sampah yang menyembulkan bau busuk sampah basah, ditambah bangkai tubuh korban yang menanti untuk ditemukan. Sesekali ada kejadian bagian tubuh terangkat tak utuh karena tergaruk kuku-kuku besi ekskavator.
Jasad-jasad dikebumikan secara layak. Sebagian lagi, terkubur secara alami tanpa sempat ditemukan sama sekali. Ziarah hanya bisa dilakukan dari atas tebing tempat melihat lahan eks TPA Leuwigajah dulu berada.
Kini, baik Ogi, Triana, serta masyarakat lain yang keluarganya jadi korban mulai membenahi diri. Melanjutkan kehidupan, melahirkan anak dan cucu sampai akhirnya menanti ajal menjemput dengan cara baik-baik.
(iqk/iqk)