Selepas menunaikan salat Zuhur, seorang pria tua berjalan menuju ke gapura di jalan menuju Jembatan Cincin di Desa Cikuda, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Jembatan yang dibangun pada 1917-1918 memiliki pesona tersendiri dan pemandangannya yang sangat indah.
Dengan mengenakan peci hitam, kaus cokelat dan celana pendek, pria itu langsung duduk di bawah gapura yang di bawahnya memiliki teras untuk bersantai.
Pria itu bernama Aba Adi Brata. Sesampainya di gapura itu, Aba yang kini usaianya sudah 75 tahun langsung duduk untuk bersantai sejenak di teras tersebut. Menurut Aba, teras itu menjadi tempat nyaman baginya kala dia keluar rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan kereta api (angkutan masyarakat umum), tapi lori, kereta angkutan yang digunakan untuk ke perkebunan," kata Aba kepada detikJabar sambil menunjuk ke arah Jembatan Cincin, belum lama ini.
Aba juga menunjukan, jika ingin melihat pemandangan Jembatan Cincin, ia mengarahkan detikJabar turun ke bawah dengan mengitari jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju pemakaman umum dan lahan peswahan. Selain itu, pemandangan jembatan ini dapat dilihat dari arah apartemen.
"Dulu namanya SS (Staatsspoorwegen), bukan PT KAI, bukan PJKA, tapi SS (yang membangun jembatan). Bukan jalur kereta api umum, tapi digunakan lori untuk mengangkut hasil pertanian, itu juga kata kakek bapak yang bekerja di SS," ujar Aba.
Menurutnya, sebelum kawasan tersebut dipenuhi pemukiman, kereta lori berlalu lalang di jembatan itu untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan dari mulai kawasan Jatinangor hingga Tanjungsari. Hail panen itu nantinya diangkut ke kota oleh Belanda.
"Bukan jalur kereta api tapi jalur lori, seperti angkutan tebu atau barang. Anak-anak sekarang tidak tahu riwayatnya, bukan kereta api, bapak tanyakan langsung ke kakek bapak dulu," ujarnya.
![]() |
Menurut Aba, dulunya perekebunan di kawasan Jatinangor ditanami tanaman haramai yang biasa dihinggapi ulat sutera dan hasilnya di bawa ke luar negeri dijadikan kain sutra. Setelah itu, diganti tanaman teh dan diganti kembali dengan pohon karet.
"Teh itu diganti lagi, dikarenakan Jatinangor daerah panas tidak seperti Ciwidey dan Lembang. Hujan bagus, kemarau kering dan diganti lagi jadi kebun karet," tuturnya.
Saat ini, jembatan tersebut digunakan warga sebagai jalan penghubung antarkampung. Jalan itu biasa digunakan petani, pelajar, hingga masyarakat umum.
Ia lalu membantah isu yang menyebut jembatan itu mengandung nuansa mistis. Tak pernah ada kejadian apapun yang berkaitan dengan hal mistis atau horor.
"Enggak, enggak angker. Bapak orang sini asli. Pernah mahasiswa sini saya tegur, jangan macam-macam sebar isu itu. Banyak juga mahasiswa yang melintas ke sini malam-malam, tidak ada apa-apa," tuturnya.
Aba juga menyebut, jika ada yang menyebut kawasan tersebut angker itu hanya isu burung yang tidak dapat dibuktikan keasliannya. "Itu hanya isu, dikarenakan gini di sini banyak kosan paling dekat dan lainnya iri, yang dekat penuh yang lain tidak, biasa nakut-nakutin," tambahnya.
Dindin (54), salah satu pengendara yang melintas di jalan itu mengatakan, dia sering pulang-pergi lewat jembatan itu di malam hari. Menurut Dindin, baik-baik saja.
"Enggak pernah tuh ada hantu (horor) atau apa, aman-aman saja," ujarnya.
Dindin mengakui jika keberadaan jembatan itu sangat membantu aktivitas warga. "Kalau enggak ada jembatan ini, yang mau sekolah harus muter, begitu juga petani. Berguna sekali, khususnya bagi anak sekolah," tambahnya.
(wip/orb)