Termasuk dalam menyambut datangnya tahun 2025 yang baru ini, masyarakat kerap lupa dan abai bahwa kelompok marginal juga layak memiliki harapan dan resolusi di tahun mendatang. Terlebih dengan berbagai tantangan hidup yang mereka hadapi selama setahun penuh di jalanan, sudah selayaknya kelompok marginal ini memiliki resolusi atau harapan yang tak terbatas.
Di Kota Bandung sendiri, berdasarkan data terakhir yang terdapat di Open Data Kota Bandung, setidaknya pada tahun 2017 terdapat sejumlah 172 orang anak jalanan, 42 orang gelandangan, 86 orang pemulung, dan 610 orang pengemis.
Orang-orang tersebutlah yang sehari-harinya menghabiskan waktu di jalanan, dengan latar belakang yang berbeda serta rentang umur yang beragam, mereka saling berjibaku mencari penghidupan di jalanan.
Suara Edi dan Eti yang Menjemput Rezeki dari Barang Bekas
Untuk mendengar lebih dekat cerita-cerita tersebut, pada Senin (22/12/24), tim detikJabar menyusuri kawasan Cihampelas, Kota Bandung. Kawasan ini menjadi salah satu lokasi di mana banyak masyarakat marginal mencari rezeki di tengah hiruk pikuk kota. Dalam perjalanan ini, kami berkesempatan mewawancarai beberapa narasumber yang kesehariannya dihabiskan dengan bekerja keras mengais barang-barang bekas untuk dijual kembali ke pengepul.
Salah satu narasumber yang kami temui adalah Edi (63), seorang pria yang usianya sudah lewat baya, tekun melakukan pekerjaannya selama 15 tahun. Setiap pagi hingga sore, ia berkeliling menyusuri jalanan Cihampelas hingga Ciumbuleuit demi mengais rezeki dari barang-barang rongsokan seperti botol plastik, besi bekas, atau apapun yang bisa dijual kembali.
Meski lelah selalu menyapa setiap langkahnya, ia tetap tegar menghadapi. Dengan hasil timbangan sekitar Rp13.000 per hari, Edi tetap bersyukur atas rezeki yang diperoleh. "Namanya rezeki nggak akan ke mana," ucapnya dengan senyum sederhana.
![]() |
Namun, perjuangan Edi bukan tanpa tantangan. Di balik senyum tersebut, tersimpan perjuangan berat yang terus ia hadapi. Salah satu kendala terbesar yang ia hadapi adalah harga barang yang terus fluktuatif, dan bantuan pemerintah yang belum pernah ia rasakan. Maka, menjelang pergantian tahun ini, Edi tak berharap muluk-muluk. "Harapannya sehat terus aja," ujarnya ketika ditemui di sela-sela pekerjaannya.
Ia juga bercerita bahwa dalam beberapa tahun terakhir, bantuan langsung dari pemerintah nyaris tak pernah ia rasakan. "Semoga tahun depan ada bantuan dari pemerintah buat ngeringanin harga kebutuhan," tambahnya, mengungkapkan harapan yang serupa dengan banyak masyarakat kecil lainnya.
Perjuangan seperti yang dialami Edi ternyata juga dirasakan oleh banyak orang lain di kawasan Cihampelas. Salah satunya adalah Eti (65), seorang pemulung asal Subang yang kini mengadu nasib di Kota Bandung. Setiap hari, ia memulai pekerjaannya sejak siang hingga malam, dengan sabar memilah dan mengumpulkan plastik di sekitar Cihampelas untuk dijual ke pengepul di Baltos. Seperti Edi, pekerjaan berat ini ia jalani tanpa banyak keluhan.
"Kalau hujan, ya berhenti dulu. Kalau lagi panas, jalan terus," ujar Eti yang tinggal bersama suaminya di kawasan Cihampelas.
Ketika ditanya soal harapan di tahun 2025, matanya berbinar, menyiratkan impian yang sederhana namun bermakna. "Maunya punya uang cukup biar bisa pulang ke kampung (Subang)," tuturnya dengan mata menerawang. Sama seperti Edi, Eti juga berharap pemerintah lebih peduli terhadap nasib masyarakat kecil. Ia menginginkan bantuan yang benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan. "Semoga pemerintah kasih bantuan, apa aja," tutupnya singkat namun penuh harap.
Suara Pejuang dari Sudut Lampu Merah, Fikri dan Unasih dengan Ukulelenya
Di Tempat lainnya, Fikri (14), seorang pengamen muda tengah duduk di bawah terik matahari di sudut lampu merah Jalan Cihampelas. Membawa ukulele yang hanya tersisa 3 senar, Fikri membagikan kisah perjalanannya menjadi seorang pengamen sejak tahun 2019. Sejak berhenti bersekolah, Fikri bertekad ingin membantu orang tuanya mencari uang.
"Iya, ngamen buat bantu orang tua. Tidak dipaksa sama sekali, emang dari kemauan sendiri," ujar Fikri saat diwawancarai Tim detikjabar, Minggu (22/12/2024).
Selama bekerja, ia kerap kali mendapat pengalam kurang baik, salah satunya saat ia dikejar oleh Satpol PP. Bukan sekali atau dua kali, Fikri cukup sering menghadapi situasi tersebut.
![]() |
Tidak ada resolusi khusus yang Fikri inginkan untuk tahun 2025. Membantu orang tua menjadi prioritasnya saat ini.
Kisah lainnya datang dari seorang wanita paruh baya bernama Unasih (76). Sudah 9 bulan terakhir ia berjualan air mineral dan cemilan eceran. Sayangnya, hasil dari berjualan tersebut tidak mampu mencukupi tanggungan yang ia miliki. Selain menghidupi dirinya sendiri, ia juga merasa bertanggung jawab membantu sang cucu yang telah kehilangan orang tuanya.
Akhirnya, Unasih memutuskan untuk mengamen demi mendapat penghasilan tambahan. Keputusan ini berkat dorongan dari pengamen lain di lampu merah yang sama. Melihat kondisi Unasih yang sudah tua, mereka menyarankan untuk mengamen, sebab penghasilan yang dinilai cukup untuk tambahan Unasih berdagang.
Salah satu harapan yang ia sampaikan adalah adanya penurunan harga barang kebutuhan sehari-hari. Sambil tersenyum tipis, ia menyampaikan rasa rindunya saat masih bisa menghidupi anak-anaknya dengan makanan yang lezat.
"Jangan segala mahal, itu aja. Pengen bisa beli apa-apa, terakhir zaman Soeharto 5 ribu udah bisa makan ayam. Sekarang 50 ribu, berasnya sudah berapa gitu," ujar Unasih.
Upaya dan Dukungan dari Masyarakat
Beberapa bantuan sempat dihimpun melalui berbagai gerakan sosial yang ada, salah satunya ialah Independent Solidarity Bandung. Gerakan ini mencoba untuk menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan, diantaranya dengan mengadakan aksi-aksi sosial kolektif yang diharapkan dapat membantu kelompok-kelompok marginal juga.
"Ruang lingkupnya agenda sosial sih kayak santunan terus bagi-bagi Alquran untuk yang membutuhkan di pelosok-pelosok gitu dan juga alhamdulillahnya banyak gerakan-gerakan kolaborasi akhirnya gitu dengan NGO yang juga punya interest ke sosial, entah itu yayasan ataupun juga lembaga-lembaga yang memang sudah lebih dulu berkegiatan sosial," terang Aam selaku perwakilan dari Independent Solidarity Bandung, Selasa (24/12/2024).
Lebih lanjut, Aam bersama Independent Solidarity Bandung siapa yang seharusnya lebih berperan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Meski permasalahan tersebut sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun ia lebih memilih melihatnya dari sisi sosial dan kemanusian
"Masyarakat marginal ini kan harusnya diselesaikan dan diberi ruang hidupnya oleh pemerintah ya, Nah tapi kita juga merasa sebenarnya sederhananya adalah bagaimana kemudian kita melihat juga sisi-sisi sosial itu juga sisi-sisi kemanusiaan," ujarnya menambahkan.
Senada dengan apa yang diungkapkan Aam, permasalahan pelik kelompok marginal ini merupakan tugas atau PR besar yang perlu diselesaikan. Semakin banyaknya pihak (tidak terkecuali masyarakat umum) yang terlibat membantu penyelesaiannya tentu akan semakin mempermudah dan mempercepat masalah tersebut terselesaikan.
Namun, di sisi lain, pemerintah juga dengan kewenangan serta tanggung jawab lebihnya sudah seharusnya dalam hal paling mendasar dapat memenuhi hak-hak kelompok marginal tersebut. Secara lebih jauh, pemerintah juga diharapkan dapat turut mengakomodasi berbagai resolusi dari kelompok marginal terkait tahun yang akan datang. (yum/yum)