Masalah Besar di Balik Bencana Sukabumi

Jabar Sepekan

Masalah Besar di Balik Bencana Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 15 Des 2024 22:00 WIB
Sejumlah personel SAR gabungan membawa kantong berisi jenazah korban bencana longsor saat pencarian di Kampung Cisarakan, Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (7/12/2024). Komandan Tim Operasi Basarnas Fajar Laksana Ginting menyatakan musibah tanah longsor yang melanda Kampung Cisarakan RT 22/09, Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi pada Rabu (4/12) menyebabkan lima korban jiwa tertimbun longsor, dan kelimanya telah ditemukan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
Lokasi longsor di Kampung Cisarakan, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA)
Sukabumi -

Bencana banjir bandang yang melanda Kabupaten Sukabumi pada 4 Desember 2024 tidak hanya menyisakan kerusakan, tetapi juga menjadi sorotan terhadap penyebab utamanya. Aktivis lingkungan menduga kuat, aktivitas tambang emas dan tambang galian kuarsa memiliki andil besar dalam kehancuran ekologis ini.

Setidaknya, banjir, tanah longsor, hingga pergerakan tanah terjadi di 39 kecamatan dan 176 desa. Bencana ini memaksa ribuan warga mengungsi, menyebabkan 10 orang meninggal dunia dan dua lainnya dinyatakan hilang.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin, mengungkapkan timnya telah melakukan investigasi. Hasil analisis citra satelit menunjukkan adanya kerusakan signifikan di kawasan hutan yang diduga akibat eksploitasi tambang emas dan tambang galian kuarsa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu wilayah yang disorot adalah Kecamatan Waluran Jampang. Degradasi hutan di kawasan ini diduga kuat disebabkan oleh pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) guna mendukung pasokan serbuk kayu ke PLTU Pelabuhanratu.

"Dari lapangan ditemukan fakta bahwa tidak hanya Kawasan Guha dan Dano saja yang telah terdegradasi. Di tempat lain juga terdapat kerusakan hutan dan lingkungan akibat tambang emas, dan tambang galian kuarsa untuk bahan pendukung pembuatan semen," kata Wahyudin dalam keterangan resmi yang diterima detikJabar, Sabtu (14/12/2024).

ADVERTISEMENT

Selain itu, Walhi menyoroti keberadaan operasi tambang emas di kawasan hutan lainnya. Di Kecamatan Ciemas, sebuah perusahaan mengoperasikan konsesi tambang seluas 300 hektare. Hal serupa ditemukan di Kecamatan Simpenan, di mana aktivitas tambang juga berlangsung.

"Kawasan perhutanan sosial tidak luput pula dari objek tambang sebagaimana terdapat di petak 93 Bojong Pari dan Cimaningtin dengan luas 96,11 hektare," imbuh Wahyudin.

Menurutnya, kawasan-kawasan ini seharusnya tidak menjadi lokasi tambang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi. Ia menegaskan, bencana ekologis yang melanda Sukabumi memiliki kontribusi besar dari aktivitas perusahaan tambang yang melanggar aturan.

"Kepada pemerintah kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat, dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang," tegas Wahyudin.

Walhi juga keberatan jika pemulihan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara. Mereka menyebut bahwa perusahaan-perusahaan tambang harus bertanggung jawab karena memiliki andil besar dalam bencana ini.

Ke depan, pasca dicabutnya status tanggap darurat, Walhi mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kerusakan lingkungan di Sukabumi.

"Kami berharap pula kepada pemerintah untuk tidak gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi. Di sejumlah tempat bencana yang disumbang, bahkan didalangi perusahaan ekstraktif agar menjadi pembelajaran," tutup Wahyudin.

Tanggapan DPR RI

Menanggapi situasi ini, Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menegaskan perizinan tambang di wilayah ini perlu dievaluasi secara menyeluruh. Saan juga menekankan pentingnya pengaturan ulang tata kelola lingkungan.

"Perizinan tambang dan penebangan hutan yang berisiko merusak lingkungan harus dievaluasi ulang. Kita tidak bisa membiarkan bencana seperti ini terus terjadi akibat perusakan lingkungan," kata Saan di Kampung Gunung Baen, Desa Karangjaya, Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi, Sabtu (14/12/2024).

"Maka sekali lagi, terkait pengaturan terutama perizinan dan sebagainya yang membahayakan masa depan lingkungan dan berujung membahayakan warga negara itu penting untuk dikaji ulang, dipikirkan ulang sehingga kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi," sambungnya.

Ia juga mendorong DPR, terutama komisi yang membidangi lingkungan, untuk mengawal penataan tambang. Pihaknya menyebut akan mendorong evaluasi perizinan tambang di wilayah rawan bencana.

"Bukit dan gunung di Sukabumi yang dijadikan lokasi tambang, seperti galian C, harus ditata ulang. Komisi terkait bersama kementerian harus mengevaluasi perizinan yang berpotensi merusak lingkungan," tegasnya.

Saan berharap perhatian serius terhadap tata kelola lingkungan dapat mencegah bencana serupa terulang di masa depan. "Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga mengancam keselamatan warga. Ini tanggung jawab kita bersama," ucap dia.

(sya/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads