Mengenal Reaktor Plasma Hidrogen Buatan Dosen ITB

Mengenal Reaktor Plasma Hidrogen Buatan Dosen ITB

Wisma Putra - detikJabar
Kamis, 14 Nov 2024 14:30 WIB
Alat pengubah tanah menjadi logam yang diciptakan dosen ITB.
Alat pengubah tanah menjadi logam yang diciptakan dosen ITB. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Penelitian tentang reaktor plasma hidrogen yang dilakukan oleh Dosen ITB, Prof. Dr. Ing. Zulfiadi Zulhan, ST., MT., IPU., sudah direncanakan sejak beliau menempuh pendidikan di Institute for Ferrous Metallurgy, IEHK, Institut für Eisenhüttenkunde, RWTH Aachen University, Jerman.

"Prinsipnya bukan (pertama dibuat di ITB), karena prinsipnya itu sudah ada ditempat lain. Kalau saya pribadi, saya punya ide untuk membuat reaktor ini di tahun 2004, waktu saya masih di Jerman dulu, pada saat saya melakukan penelitian, bagaimana jika dalam suatu elektroda ada ruang di bagian tengah, bolong di bagian tengah, kemudian di bagian tengah itu di hembuskan gas hidrogen. Itu ide yang muncul tahun 2003-2004," tuturnya kepada detikJabar belum lama ini.

Jika reaktor plasma hidrogen ini diterapkan pada skala industri, menurut Zulfiadi, desainnya sangat cocok untuk diproduksi massal. "Ide tersebut, yang sebenarnya hari ini kalau misalnya kita buat skala pabrik, yang paling mudah adalah ide tersebut, artinya kita punya elektroda grafit yang ada lubang di tengah kemudian dihembuskan hidrogen," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zulfiadi juga menceritakan bahwa, meski gagasan awalnya sudah lama, reaktor ini baru dapat diwujudkan setelah pandemi COVID-19. Saat itu, ia bekerja sama dengan seorang teknisi, Yopi Hendrawan, yang membantu mengembangkan alat tersebut hingga bentuk finalnya.

"Setelah COVID-19, diskusi dengan satu teknisi, bapak Yopi Hendrawan, saya diskusi dengan beliau, saya menggambarkan saya ingin alat seperti ini, saya gambarkan ringkas, beliau yang membuat menjadi final, diskusi segala macam berkali-kali, akhirnya menjadi alat seperti ini," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Meski bukan reaktor plasma hidrogen pertama di dunia, reaktor yang dikembangkan di ITB ini memiliki bentuk unik yang berbeda dari reaktor di negara lain.

"Alat ini pertama di Indonesia, bentuknya beda di tempat lain, bentuknya beda dengan di Jerman, dengan di Austria beda, dengan di Australia juga beda, dengan di Amerika juga beda. Jadi prinsipnya sama, tapi bentuknya berbeda. Kalau misalnya di Australia, mereka cenderung menggunakan elektroda grafit yang dikasih lobang di bagian tengah. Kalau yang di Jerman, hari ini mereka melakukan research, sebenarnya plasma yang digunakan untuk melebur logam, itu yang mereka gunakan, kemudian ke dalam plasma ini mereka hembuskan hidrogen dari samping," paparnya.

Zulfiadi juga membandingkan penggunaan hidrogen di reaktor negara lain dengan yang di ITB. "Di Eropa, hidrogen yang digunakan cenderung lebih sedikit, di Austria 50% dicampur dengan argon, di Jerman hanya sekitar 10% atau kurang karena khawatir meledak. Di Amerika, bahkan hanya 2%. Meski aman, reaksi dengan konsentrasi rendah itu lambat dan membutuhkan energi besar," jelasnya.

Lalu, mengapa proses reduksi dan peleburan tanah mengandung besi bisa berlangsung hanya dalam dua menit di reaktor plasma hidrogen ini? Zulfiadi menyebutkan bahwa kandungan hidrogennya yang tinggi mencapai 80% mempercepat reaksi.

"Kami ini mungkin tidak sengaja 80% hidrogennya. Itu yang menyebabkan reaksinya berlangsung dengan cepat. Bisa dikatakan mungkin paling cepat di dunia hari ini. Kalau misalnya kami lihat dari hasil publikasi hari ini dengan publikasi tahun 2024, 2020, 2021," pungkasnya.

(wip/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads