Pertemuan Penuh Arti Farhan dan Seorang Remaja Disabilitas

Kota Bandung

Pertemuan Penuh Arti Farhan dan Seorang Remaja Disabilitas

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Selasa, 29 Okt 2024 17:27 WIB
Farhan temui anak disabilitas di Bandung.
Farhan temui anak disabilitas di Bandung. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Nasib Fadli Rahman Mahendar (17) mungkin tak seperti remaja lain seusianya. Fadli terlahir spesial dengan autistic spectrum disorder atau disabilitas intelektual. Suatu hari saat Farhan tengah kampanye di Jatihandap, Kota Bandung, ibu Fadli, Endang Marwati menemui Farhan secara personal. Kala itu Endang berkesempatan untuk secara langsung berkeluh kesah, mencurahkan kendala saat merawat putra kesayangannya.

"Saat saya kampanye di Jatihandap, tiba-tiba ada seorang ibu (Endang Marwati) yang mendatangi saya, mengeluhkan bahwa selama ini tidak ada perhatian dari pemerintah untuk anaknya yang disabilitas," kata Farhan, Selasa (29/10/2024).

Farhan kemudian berjanji untuk datang menjenguk ke rumah Fadli. Mendengar keluhan masyarakat bukan jadi pengalaman baru buat Farhan. Mengingat selama menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024, ia sudah lama aktif di organisasi nirlaba yang khusus membantu persoalan anak-anak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat itu saya berjanji ke ibu itu akan datang ke rumahnya," ucap Farhan mengingat momen pertama bertemu Endang.

Pagi ini, Farhan pun memenuhi janjinya. Bersama asesor dari Yayasan Biruku Indonesia, Farhan mendatangi kediaman Fadli dan ibunya di kawasan Jatihandap, Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung.

ADVERTISEMENT

Ekspresi bahagia ditunjukkan Fadli saat duduk berhadapan dengan Farhan. Momen itu terasa mengharukan saat terungkap kisah perjuangan sang ibu, yang terus semangat merawat Fadli dengan kasih sayang di tengah keterbatasan.

Endang harus merawat Fadli seorang diri, setelah suaminya meninggal dunia sejak tahun 2020. Hal inilah yang menggugah Farhan untuk mendatangi rumah Fadli dan mendengar keluhan yang bisa diberikan solusi.

"Barusan yang dikeluhkan adalah alat bantu jalan, karena sudah setahun ini tidak bisa berjalan (lumpuh)," ujar Farhan.

Namun, Farhan melihat ada hal lain yang harus diperhatikan dalam menangani persoalan tersebut. Kesadaran dari orang sekitar akan keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus, memang menjadi hal yang penting.

"Harus ada awareness dulu dari orang-orang sekitar. Tidak hanya untuk disabilitas, tapi juga untuk orang-orang tidak berdaya lainnya, seperti lansia," katanya.

Dengan adanya tingkat kesadaran dan pengetahuan yang tinggi dari orang-orang sekitar, Farhan optimistis keberadaan anak disabilitas bisa lebih terperhatikan dengan baik. Menurutnya, hal serupa pun harus dimiliki pemerintah sehingga persoalan serupa maupun kelompok minoritas lainnya bisa teratasi dengan baik.

"Karena saya menemukan di setiap RW ada lansia atau anggota keluarga yang tidak berdaya, atau disabilitas. Hampir di setiap RW," tutur dia.

Menurutnya, para pembuat kebijakan harus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dalam mengatasi persoalan tersebut. "Apalagi ini kan kasuistik. Kita harus lebih kenal dalam membuat kebijakan tuh. Karena sudah tugas kita memberikan bantuan ke semua orang dengan cara keberpihakan dan melibatkan. Mengetahui apa kebutuhannya, itu jauh lebih mengena," sambung Farhan.

Di lain sisi Ketua Yayasan Biruku Indonesia, Djulaiha Sukmana menjelaskan pihaknya mengidentifikasi untuk mengetahui informasi mendalam terkait permasalahan, kebutuhan, termasuk potensi penyelesaian masalah yang dihadapi Fadli dan keluarganya. Berdasarkan pengamatannya tersebut, lanjut Djulaiha, Fadli akan segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan, terlebih setelah mengalami kelumpuhan.

"Kami langsung melakukan assessment komprehensif. Kita bawa ke rumah sakit untuk diperiksa apa penyebab Fadli enggak bisa jalan," katanya.

Selain itu, Djulaiha mengatakan pihaknya akan rutin mendatangkan terapis ke rumah Fadli untuk terapi berkelanjutan. Dia menambahkan, dalam mengatasi persoalan seperti ini diperlukan pengamatan yang mendalam.

"Karena harus setiap hari, sementara ibunya kan berjualan makanan keliling. Kasihan repot kalau terapinya harus ke rumah sakit atau panti," ujarnya.

"Tentu hambatan dan faktor pendukungnya pun berbeda-beda, jadi langkah penyelesaiannya tidak mungkin semuanya sama," imbuh Djulaiha.

(aau/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads