Jatuhnya Pesawat di Jalan Jamika Jelang Ramadan yang Menyisakan Duka

Lorong Waktu

Jatuhnya Pesawat di Jalan Jamika Jelang Ramadan yang Menyisakan Duka

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Jumat, 11 Okt 2024 15:45 WIB
Ilustrasi pesawat jatuh di Jamika tahun 1996
Ilustrasi pesawat jatuh di Jamika tahun 1996 (Foto: Ilustrasi Yudha Maulana)
Bandung -

Kejadian itu waktu mau Munggah, begitu ucap Yo (70), saat mengawali cerita. Munggah menjadi penyebutan bahasa Sunda yang artinya bulan Ramadan.

Tak ada yang menyangka, maut bakal menjemput empat awak pesawat dan 16 warga sipil di Jalan Jamika, Bandung pada Kamis, 18 Januari 1996 silam. Selisih beberapa hari jelang puasa Ramadan.

Kenangan kecelakaan pesawat 28 tahun yang lalu, masih tergambar jelas dalam ingatan Yo. Sekitar pukul 11.00 WIB hari itu, sebuah pesawat latih Beechcraft Baron 58 jatuh menimpa setidaknya empat ruko berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya. Pesawat itu menyeruduk empat toko, kemudian meledak dan terbakar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kejadiannya waktu mau Munggah. Pagi itu ya saya baru ke pasar, jam 10-11 an lah. Terus ibu saya waktu itu masih ada dan sedang di sini. Banyak yang bilang waktu itu pesawat terbang dari arah Husein kan dari sana lah (arah Jalan Nurtanio), terus sayapnya itu kebetulan nabrak tiang di tengah, jadi nggak sampai sini," cerita Yo.

Sebuah tiang lampu di tengah Jalan Jamika, secara tak sengaja menjadi penyelamat rumah yang ditinggali Yo. Ia ingat betul, sepulangnya dari pasar melihat banyak kerumunan dan pemadam kebakaran di jalan itu.

ADVERTISEMENT

"Ada mobil, becak, ikut kebakar. Saya nggak ingat berapa yang meninggal dan yang luka-luka, tapi ada banyak. Tetangga sini ada yang anaknya mau wisuda, mau nikah, terus meninggal. Tapi mukjizat Allah ya, di belakang ruko itu kan ada kayak tempat salat yang disediakan pemiliknya, itu nggak kena pesawat lho," katanya.

Namun semua kenangan itu kini hanya tersimpan di ingatannya. Kata Yo, baik ruko atau pun tempat ibadah yang jadi saksi jatuhnya pesawat itu, kini sudah dihancurkan dan dibangun bangunan baru.

Data dan penjelasan kecelakaan pesawat Beechcraft Baron 58 register PK-ABE tersebut, dijelaskan dalam dokumen Aviation Savety Network, bidang khusus untuk Flight Safety Foundation.

Pesawat latih itu dipastikan milik lembaga Pendidikan dan Latihan Penerbang (PLP) Curug, yang akan terbang menuju Curug, Tangerang, melalui Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Pesawat ini diketahui lepas landas Kamis, 18 Januari 1996 sekitar pukul 11.00 WIB dari Bandar Udara Husein Sastranegara.

Dalam narasi penjelasan dokumen tersebut, tertulis bahwa kecelakaan mengakibatkan empat awak pesawat dan 16 orang yang ada di TKP meninggal dunia. Diceritakan kronologi kejadian bahwa saat pesawat mengudara, mesin pesawat bagian kanan mengalami masalah.

Sebelum Beechcraft Baron 58 berhasil mendarat, pesawat bermesin Continental 550 IOC itu jatuh dan terbakar di sebuah jalan di Bandung. Entah apa kerusakan di dalam badan pesawat yang baru mencatat waktu 3,55 jam terbang itu.

"Selama latihan penerbangan, tak lama setelah lepas landas dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat (BDO/WICC), dalam penerbangan pulang ke pangkalannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Jakarta (CGK/WIII), saat pesawat sedang naik sekitar 500 kaki, pilot melaporkan bahwa dia memiliki masalah dengan mesin kanan pesawat," tulis laporan tersebut menggunakan bahasa Inggris.

"Lalu akan kembali terbang ke Bandung (Bandara Husein). Ini adalah kontak terakhir dengan kru penerbangan yang tak lama kemudian, pesawat menabrak jalan yang jadi tempat perbelanjaan di Bandung, Jawa Barat," lanjut laporan tersebut.

Di dalam laporan itu juga tertulis bahwa ada empat orang di dalam pesawat, yakni satu pilot dan tiga penumpang tewas. Sebanyak 16 orang di jalanan meninggal dunia dan diperkirakan ada 17 orang terluka. Tubuh para korban yang meninggal hangus terbujur kaku tak berbentuk.

Keempat awak pesawat tersebut ialah pilot pesawat sekaligus instruktur, yakni Elvan Ardhy (26) dan tiga siswa penerbang yakni Syamsu Rizal (20), Kasnariansyah (21), dan Emil Rochimil (21). Dalam database surat kabar Kompas, diceritakan bahwa korban tewas dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, sementara belasan korban luka lainnya tersebar di RS Kebonjati, RS Immanuel, RS Santo Borromeus, RS Rajawali, dan RSAU dr M Salamun.

Kronologi yang diceritakan Yo pun persis dengan keterangan saksi mata di lapangan 28 tahun yang lalu, dalam temuan Harian Kompas edisi 19 Januari 1996. Setidaknya ada empat saksi mata yakni pemilik ruko, pedagang toko alat tulis, tukang tambal ban, hingga tukang becak, menceritakan bahwa pesawat yang datang dari arah barat, terbang rendah tanpa suara, dan dalam keadaan oleng.

Sebelum jatuh, pesawat sempat menyambar parabola rumah berlantai tiga di Jl Jamika nomor 6 dan selanjutnya menukik tajam, melaju di jalan raya, menyambar tiang listrik (di median jalan, depan rumah Yo) dan menyeruduk toko kain 'Citra' di Jl Jamika nomor 13.

Sekitar lima detik kemudian, terdengar ledakan keras dan api berkobar di lokasi kejadian. Kejadiannya begitu tiba-tiba dan api sangat cepat menyembur dari pesawat yang jatuh.

"Dengan cepat api menjalar ke toko di sampingnya, toko kelontong 'PD Agung' dan toko arloji 'Idola'. Pejalan kaki yang menyaksikan kecelakaan itu, segera berhamburan menyelamatkan diri. Tetapi pengunjung dan pelayan toko, tidak sempat menyelamatkan diri karena dari arah depan terjebak kobaran api. Dua anak pemilik toko kain 'Citra', Jefri (22) mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tridarma yang akan diwisuda tahun ini dan kakaknya yang akan menikah Mei nanti, Wiwi (30) tewas karena terjebak api," tulis database Harian Kompas.

Selain awak pesawat, mayoritas korban meninggal dan luka bakar berat ialah para pejalan kaki, penjaga dan pengunjung toko, penjual peci, pedagang tas, dan pedagang rokok. Kebakaran di empat toko itu turut menghanguskan dua mobil yakni Chevrolet sedang parkir di depan toko kelontong PD Agung dan Kijang yang tengah melintas, tiga sepeda motor dan satu becak yang tengah parkir.

Jenazah keempat awak pesawat terbang kemudian dimakamkan di TPU Sirnaraga dan Pemakaman Pandu, Bandung. Salah seorang lagi dimakamkan di Kabupaten Garut.

Proses pemadaman kebakaran yang disebabkan oleh pesawat latih yang jatuh di JamikaProses pemadaman kebakaran yang disebabkan oleh pesawat latih yang jatuh di Jamika Foto: TVRI/Reuters

Jamika, Ruas Jalan Vital di Kota Bandung

Beberapa dokumentasi kecelakaan pesawat tahun 1996, termasuk database surat kabar hasil kutipan di atas, dikumpulkan oleh Pengamat Sejarah, Hevi Fauzan. Ia yang masih aktif menulis sejarah Bandung di berbagai platform media, menggambarkan betapa padat kondisi Jalan Jamika tahun itu.

Ingatannya kembali menerawang ke memori tahun itu, kala Hevi masih duduk di bangku SMA. Ia tinggal di daerah Pasir Koja, berjarak beberapa kilometer dari Jalan Jamika.

"Saya sih nggak lihat kejadiannya, rumah saya ada di daerah Pasir Koja, yang itu jarak ke Jamika beberapa kilo dari rumah. Saya masih sekolah waktu itu dan Bandung bisa dibilang daerah yang kecil ya jadi viralnya di koran dan TVRI waktu itu," cerita Hevi.

"Saat kejadian itu, yang saya ingat kakak saya bilang pilotnya satu angkatan SMA dengan kakak. Ditambah itu kan kecelakaan besar ya, jadi cukup heboh waktu itu," sambungnya.

Hevi menjelaskan, Jamika merupakan salah satu nama jalan yang belum diketahui toponiminya. Jalan ini cukup unik, karena namanya berbeda dari jalan di sekitarnya yang merupakan nama tokoh setempat seperti Pagarsih, Siti Mariah, Mas Kardi, dan lainnya.

"Di sekitar tahun 90-an itu Jamika jadi jalan besar, awalnya jalan kecil. Kalau sebut Jamika mungkin jadi inget gambarannya ke negara Jamaika ya. Tapi jalan ini sebetulnya terkenal karena bagian baratnya ada Situ Aksan. Dulu itu danau buatan di lahan milik Haji Aksan." kata Hevi.

"Danau itu besar dan enak dipakai jalan, tapi sekarang sudah nggak ada. Kalau nggak salah sudah jadi perumahan," ucap Hevi.

Jalan Jamika sejak dulu jadi jalanan yang cukup penting karena jadi penghubung Jalan Raya Pos dan jalan pedalaman seperti Babakan Ciparay, Cigondewah, dan sekitarnya. Warga jalan sekitar itu kalau ingin belanja ke Pasar Andir atau pusat Kota Bandung, pasti akan lewat Jalan Jamika sebelum adanya Tol Pasirkoja.

Hevi juga mengaku pernah mewawancarai para pedagang yang berjualan di tahun 1950-1960 di wilayah Cibuntu. Katanya, kalau menuju Pasar Andir pasti akan lewat Jalan Jamika sebelum adanya Jalan Soekarno-Hatta dan lingkar selatan.

Jalan Jamika ibarat muara bagi orang-orang pedalaman. Dari sana lah Jamika berkembang, dengan adanya pasar, tempat rekreasi, deretan toko, bioskop, yang jadi pusat keramaian.

"Dulu namanya lingkar selatan, sekarang kan sudah beberapa nama jalannya diganti. Karena proyek itu, Jalan Jamika membesar, ada pelebaran jalan, dan dulu kalau sore hari di bagian baratnya dipakai untuk jualan," sambungnya.

Jamika merupakan sebuah kelurahan yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Alun-alun Bandung. Hevi menjelaskan, Jalan Jamika merupakan bagian dari jalan yang disebut Lingkar Selatan.

Jalan Lingkar Selatan dibuat sekitar tahun 1980-an dengan konsep melingkar di dalam Kota Bandung bagian selatan, membentang dari kawasan Jamika sampai perempatan Jalan Ahmad Yani dan Jalan LL RE Martadinata. Jalan Jamika begitu strategis dan membuat kawasan ini berkembang secara ekonomi dan sosial.

"Jalan kecil ini jadi cukup penting ya, karena Jamika jadi jalan vital untuk tempat-tempat pedalaman, letaknya dekat dengan pusat kota, dulu juga ramai karena ada Situ Aksan dan Pasar Sore, lalu ada pasar besar Pasar Andir sebelum adanya Pasar Induk Caringin, dan di sana juga ada bioskop yang dulunya ramai. Namanya Bioskop Jamika yang udah tutup dan itu letaknya ada di seberang titik kecelakaan pesawat," tutur Hevi.

Terbayang bagaimana ramainya Jalan Jamika di tahun 1996 itu, terlebih hari masih pagi dan banyak orang tengah beraktivitas dan berdagang. Keramaian ini berbanding lurus dengan jumlah korban kecelakaan yang cukup banyak. Ada 16 warga sipil yang meninggal dunia.

Hevi juga sempat menanyakan kejadian ini pada salah satu rekannya yang tinggal di dekat lokasi jatuhnya pesawat. Temannya saat itu masih berusia delapan tahun, diajak orang tuanya melihat lokasi kejadian. Benar adanya bahwa pascakejadian, Jalan Jamika jadi lautan manusia.

Meski kejadian kecelakaan pesawat itu menggemparkan dan menyisakan duka bagi Kota Bandung, tapi wajah Jalan Jamika hingga kini masih sama. Toko-toko masih berjajar di kedua sisi Jalan Jamika, jalan ini masih jadi jalan yang sarat dengan aktivitas perdagangan dan mobilitas warga Bandung.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para korban, tapi setelah itu kehidupan di Jalan Jamika berlangsung normal kembali. Nggak ada perubahan secara signifikan. Tapi secara ingatan, pasti terekam dalam memori mereka yang lihat kejadian secara langsung. Karena ini kan kejadian yang besar dan luar biasa," ucap Hevi.

(aau/sud)


Hide Ads