Tahun 1926 menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan Soekarno, pria yang kelak menjadi Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok itu pula yang selanjutnya juga jadi Presiden Republik Indones
ia pertama.
Saat itu, Soekarno lulus atau menuntaskan pendidikannya di Techniche Hoogeschool (TH) Bandung atau yang sekarang disebut Institut Teknologi Bandung (ITB). Tugas akhir yang dibuatnya aadaah membuat rancangan pelabuhan.
Soekarno sendiri kuliah di jurusan sipil atau weg en waterbouwkunde. Dikutip dari buku 'Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934)' karya Her Suganda, disebutkan Soekarno mendapatkan tawaran untuk menjadi pegawai emerinan Hindia Belanda, tepatnya di Burgelijke Openbare Werkn atau Dinas Pekerjan Umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keputusan ini merupakan bentuk sikap politiknya yang "nonkooperasi" dan menentang penjajahan," tulis Her Suganda.
Meski begitu, keputusan Soekarno menolak tawaran itu menghadirkan konsekuensi tersendiri. Soekarno muda mengandalkan kebutuhan ekonomi keluarga dan kegiatan politik dari sang istri, Inggit Garnasih.
Hingga suatu waktu, Soekarno duduk-duduk di ruang depan rumahnya. Rumah ini terletak di Regentweg (sekarang disebut Jalan Dewi Sartika) Nomor 22, ia kedatangan tamu.
Tamu itu adalah Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker. Ia bukan orang asing bagi Soekarno, melainkan sahabatnya sendiri.
Singkat cerita, Douwes Dekker memberikan sebuah tawaran pekerjaan bagi Soekarno, yaitu menjadi guru di Ksatrian Institut, sekolah yang baru didirikannya di Niewstraat (sekarang Jalan Ksatrian) Kota Bandung.
Douwes Dekker melihat Soekarno sosok tepat menjadi guru Ilmu Pasti dan Sejarah. Setidaknya ada dua alasan mengapa Soekarno dinilai pas menjadi guru di sana. Soekarno baru lulus dari TH dan punya semangat nasionalisme yang teramat besar.
Khusus soal semangat nasionalisme, Douwes Dekker sudah tahu sejak Soekarno masih mahasiswa. Hal itu dinilai sejalan dengan semangat Ksatrian Institut sebagai entitas perlawanan terhadap pendidikan kolonial.
Dengan sigap, Soekarno menerima tawaran jadi guru di sekolah swasta itu. Meski di satu sisi, Soekarno sadar betul ia tidak punya bakat menjadi guru. Ia lebih tertarik pada dunia politik.
Meski begitu, pada akhirnya tawaran itu diterima dan Soekarno berusaha menjalankan kewajibannya. Sehari setelah menerima tawaran, ia pun mengajar.
"Maka dengan modal nekat, pada pagi keesokan harinya, Soekarno sudah berdiri di depan ruang kelas dengan perasaan penuh percaya diri," ungkap Her Suganda.
Di Ksatrian Institut, Soekarno diber tugas mengajar dua mata pelajaran, Ilmu Pasti dan Ilmu Sejarah. Akan tetapi, Ilmu Pasti jadi mata pelajaran yang sebenarnya kurang disukainya.
Itu berbeda dengan Ilmu Sejarah. Ada minat yang begitu besar dalam benak Soekarno. Sehingga secara keilmuan, Soekarno punya banyak referensi seputar sejarah, terutama sejarah dunia.
Cara Mengajar dan Karier yang Singkat
Masih di dalam buku 'Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934)', diungkap bagaimana cara Soekarno mengajar.
Untuk pelajaran Ilmu Pasti, tak ada kesulitan yang dialami Soekarno. Meski bukan berlatar belakang siswa atau mahasiswa Ilmu Pasti, tak ada kesulitan berarti yang ditemui.
Sedangkan untuk Ilmu Sejarah, Soekarno punya latar belakang yang mumpuni karena ketertarikan hingga buku-buku yang pernah 'disantapnya'.
"Soekarno menyampaikan pelajaran sejarah berdasarkan analistis dan latar belakang suatu peristiwa atau kejadian. Cara menyampaikannya penuh semangat, bahkan saking semangatnya, ia sampai menggebrak daun meja," tutur Her Suganda masih dalam bukunya.
Masih disebutkan di buku yang sama, cara Soekarno mengajar membuat para muridnya terpesona. Di sisi lain, penilik sekolah berkebangsaan Belanda yang diutus Departemen Pengajaran, wajahnya muram saat melihat gaya Soekarno mengajar.
Soekarno lalu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Sang penilik sekolah menyampaikan kalimat yang jadi pemantik akhir kariernya sebagai guru.
"Dengan enteng, penilik sekolah berkebangsaan Belanda tersebut berujar: "Raden Soekarno, tuan bukan guru. Tuan seorang pembicara," katanya singkat (Adams, 2001:99-100)," tulisnya.
Sementara setelah sekitar empat bulan mengajar, karier Soekarno sebagai guru akhirnya tamat usai dipecat. Itu pun jadi momentum kesadaran bagi Soekarno soal potensi dirinya.
"Setelah kurang lebih empat bulan lamanya, riwayat Soekarno sebagai guru berakhir. Pengalaman itu makin menyadarkan dirinya, bahwa panggungnya bukan di depan ruang kelas," jelas Her Suganda.
Sementara usai tak lagi jadi guru, Soekarno melanjutkan aktivitasnya sebagai aktivis dan pejuang untuk memerdekakan Indonesia.