Penyakit Ginjal Kronik Hantui Anak-anak di Jawa Barat

Round-up

Penyakit Ginjal Kronik Hantui Anak-anak di Jawa Barat

Tim detikJabar - detikJabar
Jumat, 02 Agu 2024 10:30 WIB
Ilustrasi korban gagal ginjal akut pada anak
Ilustrasi korban gagal ginjal akut pada anak (Foto: Ilustrasi: Luthfy Syahban)
Bandung -

Penyakit ginjal kronik yang mengharuskan penderitanya untuk cuci darah, kini tak hanya terjadi pada orang dewasa. Kini, ada banyak anak-anak harus menjalani pengobatan itu dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Mulanya, kasus memilukan ini membetot atensi warga di Jakarta. Namun di Jawa Barat juga mencatat angka penderita ginjal kronik pada anak yang tidak sedikit. Tercatat ada 77 anak yang rutin melakukan cuci darah atau prosedur hemodialisis.

Hal tersebut diungkap Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jabar, Rochady Hendra Setya. Dia menyebut, di tahun 2024 ini sudah ada 77 kasus cuci darah yang melibatkan anak-anak mulai usia 0-15 tahun karena berbagai faktor penyebabnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara di tahun 2023 lalu, jumlah anak yang rutin cuci darah mencapai 125 anak. "Kasus anak yang perlu di hemodialisis di Jawa Barat tahun 2023 sekitar 125 anak, dan 2024 sampai Juli tercatat 77 anak," kata Rochady saat dihubungi, Kamis (1/8/2024).

Dari data itu, Rochady menyebut anak-anak yang melakukan cuci darah berasal dari berbagai daerah di rumah sakit rujukan, salah satunya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Sejauh ini RSHS pun mencatat setidaknya ada 10-20 anak per bulan yang memerlukan cuci darah rutin.

ADVERTISEMENT

Angka tersebut tentu cukup mengkhawatirkan, sebab cuci darah jika terjadi pada anak, maka perlu dilakukan dalam jangka waktu yang panjang alias seumur hidup. "Jadi misalnya perlu kayak hemodialisis tapi ada gagal ginjal yang memang sudah bertahun-tahun, dia harus diterapi ya itu yang gagal ginjal akut," ujarnya.

Rochady juga mengungkapkan, penyakit ginjal bisa disebabkan karena berbagai hal, salah satunya adalah efek samping obat tertentu, dampak dari dehidrasi hebat hingga mengkonsumsi makanan dan minuman dengan gula berlebih.

"Efek samping dari penyakit gula pada anak atau diabetes melitus pada anak ini ujung-ujungnya akan ada kerusakan ginjal. Nah nanti kerusakan ginjal ini yang akhirnya anak itu perlu Hemodialisis atau tidak," tuturnya.

Terpisah, Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin mengharapkan Kementerian Kesehatan untuk lebih ketat lagi meminta produsen makanan dan minuman kemasan untuk mencantumkan kadar kandungan di semua produk.

Sebab saat ini, informasi soal kandungan tersebut masih belum mudah dicerna oleh masyarakat luas. "Saya berharap Kemenkes segera menerapkan penandaan pada makanan dan minuman kemasan terkait kandungan gula, garam, dan lemak supaya memberikan kepastian pada masyarakat terutama menyikapi tingginya kasus anak cuci darah," ujar Bey.

Di lain sisi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tingginya kasus masalah kesehatan ginjal, khususnya gagal ginjal, secara umum disebabkan oleh minim edukasi di masyarakat. Khususnya soal kesehatan ginjal dan gaya hidup.

Dikutip dari detikHealth, Menkes Budi juga menyoroti kebiasaan minum manis berlebihan sebagai salah satu hal yang bisa meningkatkan risiko kerusakan ginjal di usia muda. Ia mengatakan saat ini anak-anak dapat dengan mudah mengonsumsi minuman manis secara berlebihan, hingga pada akhirnya menjadi salah satu faktor risiko gagal ginjal di kemudian hari.

"Anak-anak sekarang itu banyak yang minumnya gula, suka minuman manis. Nah itu yang harus dicegah, itu perlu orang tua mendidik anak-anak," tegas dia. Kondisi ini menurutnya bisa berbahaya jika tidak segera diubah dan dapat membebani pelayanan kesehatan.

(aau/yum)


Hide Ads