Mengintip Kehidupan Tahanan Anak di Balik Tembok LPKA Bandung

Mengintip Kehidupan Tahanan Anak di Balik Tembok LPKA Bandung

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Sabtu, 20 Jul 2024 17:30 WIB
Kondisi dalam LKPA Bandung.
Kondisi dalam LKPA Bandung. (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Di balik dinding beton yang tinggi dan tebal milik Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kota Bandung, terdapat 215 tahanan anak yang melanjutkan hidupnya di sana. Gedung yang terletak di Jl Pacuan Kuda No.3, Sukamiskin, Arcamanik, Kota Bandung itu jadi tempat tinggal anak-anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum.

Meski hidup terisolasi, mereka tetap melanjutkan pendidikannya di sana. Anak-anak itu juga diberikan pendampingan untuk mengembangkan kemampuan dirinya. Ada yang hobi bermusik, menggambar, atau bermain kesenian dan olahraga.

Seperti F, salah satu tahanan anak yang punya hobi bermain gitar. Ia bercerita bahwa selama di LKPA, ia diajari menggambar hingga membuat kerajinan tangan. Namun, kecintaannya sejak dulu ialah bermusik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Paling suka musik, main gitar. Di sini sempat membuat lukisan, terus gantungan kunci juga pernah, paling susah yang ini (pajangan dinding dari paku dan benang). Makunya susah," ceritanya pada detikJabar, Sabtu (20/7/2024).

F dan ratusan anak lainnya, hari itu mendapat kesempatan pemeriksaan dan perawatan gigi-mulut gratis dari CT ARSA. Selain itu, mereka juga diajak menghias pajangan dinding dari talenan kecil.

ADVERTISEMENT

Di samping pembekalan kemampuan, anak-anak tersebut juga membutuhkan perhatian dari sisi kesehatan. Hari itu, mayoritas anak memang dalam kondisi sehat. Namun Kasub Sie Perawatan LKPA Bandung, Yuyun Royani mengungkap ada penyakit yang kerap kali dijumpai para tahanan anak, yakni penyakit kulit.

"Jadi kalau di sini itu ada dua perawat, dokter gigi dan umum itu biasanya visit seminggu sekali. Kalau ada penyakit gigi dan mulut, misalnya sakit gigi itu nanti akan ditangani. Nah kalau penyakit yang agak sering dan menular itu penyakit kulit dan ISPA," ucap Yuyun.

Ia menjelaskan bahwa biasanya penyebab utama yakni adanya penyakit bawaan dari anak binaan baru. Datang dari luar, saat pindah ke sini anak tersebut sudah membawa penyakit kulit yang kemudian menular ke rekan-rekan sekamarnya.

Kemudian pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), biasanya muncul saat cuaca tidak bersahabat. "Biasanya juga pengetahuan tentang kebersihan itu masih kurang. Jadi kami selalu edukasi supaya mencegah ada penyakit-penyakit menular," kata dia.

Perawat Muda LPKA Bandung, Elfi Wulandari juga menjelaskan alur jika anak baru masuk ke dalam lapas. Anak tersebut akan dicek dulu kesehatannya secara umum seperti fisik dan mental.

"Termasuk HIV, IMS, TB, Hepatitis, dan ketergantungan Napza. Dari situ akan tahu masalahnya dimana. Kalau dalam kondisi sehat, kader kesehatan akan mendampingi di blok penjangkau dan pendamping. Setiap hari akan ada kunjungan kamar, dari situ melihat masalah kesehatan tiap anak," kata Elfi.

Meski tindakan preventif sudah dilakukan, penyakit kulit Scabbies cukup sering dialami para tahanan anak, bahkan sudah merantai dan sulit diputus. Elfi mengatakan, penyebabnya yakni mereka tak paham menjaga kesehatan diri dan sebelum masuk ke lapas tinggal di pemukiman yang kurang bersih.

Lalu penyakit tidak menular yang kerap dijumpai pada tahanan anak ialah karies atau gigi berlubang. Tak jarang, mereka punya keluhan seperti sakit gigi.

"Kalau scabbies itu kan dari tungau biasanya, jadi akan menular dari kasur yang dipakai bergantian. Pernah ada yang sudah kena itu kulitnya bersisik, nanahan, karena digaruk kan gatel. Itu kalau sudah parah banget kita harus lakukan pemisahan dan pendampingan minum obat. Waktunya agak lama dan harus intens. Kalau sudah sehat betul baru sekamar dengan yang lain," tutur Elfi.

"Lalu ISPA tapi itu biasanya kalau cuaca dingin aja gitu, kalau pun yang tidak menular itu banyak yang karies. Sebabnya rata-rata pengetahuan kesehatan mereka kurang. Karena yang masuk ke sini itu kebanyakan tingkat pendidikannya rendah, ada yang lulusan SD, putus sekolah SMP, dari situ tergambar pengetahuan kesehatannya kurang," lanjut dia.

Selain itu, Elfi juga bercerita tak sedikit anak yang perlu pendampingan psikologis. Tak semua anak punya mental yang sehat, sebab ada perasaan bersalah saat masuk ke dalam tahanan anak.

"Anak-anak itu juga biasanya masalah psikologis terganggu, karena masih dalam tahap tumbuh dan kembang ya. LPKA itu kan melayani anak-anak berhadapan dengan hukum (ABH) usia 14-18 tahun. Saat di vonis itu ada terganggu dari sisi mentalnya, kami berikan rehabilitasi mental itu biasanya bekerja sama dengan akademisi seperti UPI dan Unisba," ujar Elfi.

Guna menanganinya, LKPA Kota Bandung melakukan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Secara intensif, anak-anak tersebut tak hanya diberi pembekalan pelajaran agar dapat melanjutkan sekolah. Tapi juga diberi edukasi soal kesehatan baik fisik maupun mental.

"Jadi kami ada program kesehatan masyarakat preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Preventif itu biasanya kami galakkan PHBS, olahraga pagi, vaksin, visitasi kesehatan, pembagian vitamin, dan seminar dari Puskesmas Arcamanik," ujar Elfi.

"Kemudian di tiap kamar itu akan kami pilih satu anak yang bisa jadi Kader Kesehatan. Sebagai perpanjangan tangan, untuk menemani dan mengawasi jika ada anak yang punya masalah kesehatan. Intinya kami berusaha supaya anak di dalam itu tetap sehat dan punya kemampuan, sampai nantinya mereka akan keluar," imbuhnya.

(aau/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads