Dunia yang Riang Gembira dari Mata Angkasa

Dunia yang Riang Gembira dari Mata Angkasa

Yudha Maulana - detikJabar
Minggu, 23 Jun 2024 17:46 WIB
Angkasa dan ibunya, Iin Rahmi Handayani
Angkasa dan ibunya, Iin Rahmi Handayani (Foto: Yudha Maulana/detikJabar)
Bandung -

Melalui imaji dunia anak-anak yang riang gembira dan tarikan garis yang tegas, Angkasa Nasrullah Emir (25) membuktikan bahwa autisme bukan rintangan untuk berkarya seni. Karya-karya lukisan Angkasa menggambarkan dunia dari sudut pandang seorang anak yang berjiwa murni dan penuh warna-warni.

Keunikan gambar yang lahir dari interpretasi Angkasa, menuai apresiasi di dalam dan luar negeri. Deretan karyanya pernah dipajang dalam berbagai bentuk di New Zealand, Jepang hingga World Food Forum yang diinisiasi Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia.

Saat ditemui detikJabar di kediamannya di Cigadung, Kota Bandung, Angkasa mengenakan kaos merah bergambar bebek, yang dilukisnya beberapa waktu lalu. Sesekali ia tersenyum, sambil menatap layar ponsel yang menampilkan tokoh kartun imut bertelinga kelinci kesukaannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Abang happy enggak, menggambar?" tanya Iin Rahmi Handayani, ibu Angkasa.

"Happy," jawab Angkasa sambil tersenyum kalem.

ADVERTISEMENT
Angkasa dan ibunya, Iin Rahmi HandayaniAngkasa dan ibunya, Iin Rahmi Handayani Foto: Yudha Maulana/detikJabar

Di sela pertemuan, Iin bercerita, Angkasa yang lahir di Kota Ipoh, Malaysia terindikasi mengalami spektrum autis saat berusia dua tahun. Ia mengalami gejala sulit berkomunikasi secara verbal. Timbul kegelisahan di dalam hati ibu dan ayah Angkasa kala itu tentang masa depan anak mereka.

Pertanyaan-pertanyaan muncul di benak Iin, tentang apakah Angkasa bisa memiliki ijazah dan hidup mandiri di kemudian hari. Hal itu cukup wajar, mengingat Iin dan suaminya memiliki latar belakang akademisi yang moncer di bidangnya masing-masing. Angkasa pun kemudian disekolahkan dan mengikuti sejumlah kursus.

"Angkasa bisa bicara pakai gambar itu usia 7 tahun. Usia 7 tahun baru paham instruksi yang verbal. Angkasa pernah tinggal di asrama gitu satu bulan, tapi traumatis banget buat dia. Terus kita sempat ke sekolah-sekolah gitu, tapi biaya sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) itu sangat mahal," katanya.

Perlu waktu belasan tahun untuk menemukan sekolah yang tepat bagi Angkasa. Sampai akhirnya Angkasa disekolahkan di Kafin School saat usianya menginjak 18 tahun, di sana bakat menggambar Angkasa tercium oleh salah seorang gurunya. Gambar sapi dan tulisan Angkasa dinilai berkarakter dan unik.

"Suatu kali gurunya kirim gambar Angkasa. Jadi dari satu foto itu yang saya bilang, Angkasa bisa menggambar. Momennya foto itu. Dia gambarnya sangat tegas. Tapi kita masih belum tahu, secara bapaknya bukan orang seni. Tetapi melihat ini, dia kok garisnya tegas dan enggak ragu-ragu," ujar Iin.

Lukisan AngkasaLukisan Angkasa Foto: Istimewa

Iin pun mulai berdamai dengan keadaan. Kebahagiaan anaknya lebih utama dibandingkan ijazah dan lainnya. Angkasa lebih happy menuangkan isi pikirannya melalui gambar, lambat laun seni merekatkan komunikasi Angkasa dengan anggota keluarganya yang lain.

"Sebelumnya memang kita tahu, kalau dia itu tulisannya rapi seperti mesin tik. Komposisi apa-apa itu cakep melihatnya. Mulai dari situ kita mencari sekolahan, kursus apa. Kita cari-cari guru kesenian, sampai akhirnya kita bertemu dengan Art Therapy Center (ATC) Widyatama," katanya.

Banyak hal yang dipelajari Iin dan Angkasa saat bersama ATC Widyatama pada 2017 silam untuk membuat beragam karya. Di tempat itu juga, keduanya bertemu dengan Imaniar Rizki Waridha, yang bertugas menjadi fasilitator bagi seniman-seniman difabel. Setelah dari ATC Widyatama, kini Angkasa aktif berkesenian bersama Tab Space, neurodiverse design studio yang didirikan Imaniar dan rekan-rekan.

WADAH YANG TEPAT

Bersama Tab Space, karya-karya yang dibuat Angkasa tak hanya terhenti dalam bentuk sketsa di kertas atau di atas kanvas. Desain yang dibuat Angkasa kemudian diolah lebih lanjut dan diterapkan oleh tim kreatif dari Tab Space menjadi suatu produk seperti merchandise, baju, dekorasi ruangan dan berbagai produk kreatif lain yang bernilai ekonomi.

"Sebenarnya ketimbang eksplorasi meminta beliau untuk ngapain, lebih ke apa yang beliau mau. Jadi ketika mengeksplorasi sesuatu itu, dalam kondisi happy. Karena kuncinya di happiness itu," ujar Imaniar.

Menurut Imaniar, Angkasa termasuk seniman autis yang sangat cerdas. Pasalnya, ketika dihadirkan medium baru untuk berkarya, tak memakan waktu lama bagi Angkasa untuk menguasainya. Salah satu contohnya adalah seri lukisan digital 'Famous Painting', yang dikerjakan Angkasa dengan menggunakan aplikasi Procreate di iPad.

"Jadi ketika punya satu material, abang mau nyoba. Abang mau ternyata bisa. Terus ditambah lagi Angkasa sudah dewasa, kemudian bisa mengerjakan sesuai brief, makanya Angkasa menjadi salah satu seniman yang populer di Tab Space," kata Imaniar.

Studio Tab SpaceStudio Tab Space Foto: Yudha Maulana/detikJabar

Kerjasama Angkasa, seniman neurodivergent lain, fasilitator dan desainer neurotypical di Tab Space berbuah manis. Hingga akhirnya datang berbagai klien dari brand-brand yang mengajak berkolaborasi di antaranya JNE, Ame Raincoat, Evermoss, hingga Youtube South Asia Pacific. Tentu saja kolaborasi ini juga turut membawa kesejahteraan terhadap para seniman dan studio.

Di samping itu, karya-karya dari Tab Space juga mejeng di pameran seni bergengsi di Indonesia, yakni Indonesia Contemporary Art & Design (ICAD) ke-12 di Grand Kemang, Jakarta.

Seri 'Famous Painting', lukisan digital Angkasa yang merespons lukisan terkenal seperti Monalisa pernah ditampilkan di Djournal Coffee Grand Indonesia, saat ini karya-karya tersebut dipamerkan di Sunrise Gallery Fairmont Hotel.

JANGAN PUTUS HARAPAN

Setelah mulai aktif berkarya pada 2017, Iin mengamati ternyata anak sulung dari tiga bersaudaranya ini lebih senang menggambar objek binatang. Pada suatu waktu, keluarganya pernah meminta Angkasa untuk menggambar binatang sesuai permintaan.

"Jadi pernah setiap anggota keluarga meminta Angkasa menggambar binatang apa, semua dapat. Jadi sampai ada buku yang besar banget. Alhamdulillah buku itu jadi portofolio yang berguna banget. Jadi ibaratnya saya perlu apa, kemudian lihat sketsa Angkasa gitu," katanya.

Selama mendampingi anaknya, Iin tidak mau terlalu mencampuri urusan gaya lukis hingga bisnis dari hasil penjualan karya anaknya. Menurutnya, yang terpenting anaknya bahagia dan menjadi dirinya sendiri.

"Saya tidak mau Angkasa terlalu banyak diintervensi dalam berkarya. Karena buat saya autisme bukan komoditas, jadi saya tidak mau karya Angkasa dilihat dari autisnya, tetapi diapresiasi karena memang karyanya bagus," katanya.

Ia pun berpesan kepada orang tua yang memiliki anak dengan spektrum autis untuk tidak berputus asa. Menurutnya, yang utama bagi anak-anak autis adalah tempat yang aman dan nyaman agar anak bisa berkembang sesuai jati dirinya. Ia pun bercerita pernah berada di situasi di mana pintu kehidupan tertutup, tetapi setelah disyukuri ternyata masih banyak jendela yang terbuka.

"Kalau kita paksakan sesuai keinginan kita, tentunya kita akan membentur tembok dan itu sangat sakit," katanya.

"Jangan takut kita dinilai sebagai orang tua yang kurang usaha. Sama seperti terjadi hal darurat yang terjadi di pesawat, sebelum menolong orang lain kita tolong diri sendiri. Karena itu akan menenggelamkan kita, karena orang tua ABK itu harus tough. Kalau tidak nanti kita yang ditolong, kita harus ikhlas dan teamwork dengan anggota keluarga lainnya," katanya.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads