Pagi itu waktu masih menunjukkan pukul 08.00 WIB. Rida Marlina Situmorang (47) memulai hari dengan membersihkan barang-barang yang tersisa pasca terkena musibah. Paginya kali ini terasa berbeda. Padahal, biasanya ia bersiap untuk dagang dan membuka toko kelontongnya.
Ia pun masih merasa tak percaya. Toko kelontong yang ia bangun sejak 15 tahun silam, raib gegara ledakan pipa PDAM di Jalan Cibangkong Lor, RT 01 RW 5, Batununggal, Maleer, Kota Bandung pada Rabu (5/6/2024) sore lalu.
Baca juga: Sabada Pipah Cai PDAM Tirtawening Bitu |
"Sekarang saya lagi nyeuseuh (mencuci), barang-barang yang kemarin coba diselamatkan, ini mungkin yang tersisa seperempatnya lah," ucap Rida, ditemui pada Minggu (9/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlihat beberapa barang sudah bercampur dengan lumpur seperti koper, televisi, dan penanak nasi. Dibantu dengan warga, suami, serta keempat anaknya, Rida yang akrab disapa Sri oleh warga setempat, mencoba menyelamatkan hartanya sebisa mungkin.
Wajahnya masih nampak lesu. Bagaimana tidak, satu-satunya sumber penghidupan dan tempat tinggal mereka hancur dalam satu malam.
"Tadi saya dibantu nyuci, bersihin barang-barang dagangan juga sama anak-anak, warga lain. Untung di sini tetangga pada bageur (baik), baik gitu lah mau membantu," ceritanya.
Masih sulit lepas dari ingatannya, betapa ia dibuat panik dan menangis tak berhenti melihat rumahnya perlahan runtuh, ambles dengan tanah. Sore itu sekitar pukul 15.45 WIB, ia mendengar suara pecahan dari pipa. Suara itu kemudian diikuti dengan semburan air yang meruntuhkan rumahnya.
Rida kaget bukan main, dalam sekejap air deras membanjiri rumahnya dan warga yang lain, hingga akhirnya rumahnya ikut ambles dengan tanah.
"Saya tiba-tiba kaget, baru keluar dari rumah atap saya 'bruk!' hancur. Saya lihat itu pipa PDAM nya pecah, pas depan rumah saya. Saya juga takut, pingin kabur, tiba-tiba keluar kayak air pancuran ke atas, kejadiannya sekitar jam setengah empat," ceritanya.
Setelahnya, air keluar deras dari pipa hingga menggenangi 93 rumah warga lainnya. Sementara rumah Rida dan tetangga sebelahnya, Bambang, hancur tak bersisa.
Sang suami, Sole Simamora (54) juga menceritakan momen dramatis kala mereka mencoba menyelamatkan barang dagangan. Kala itu, ia pun mendapat telepon dari keluarganya di Sumatera yang khawatir akan keadaannya sekeluarga.
"Jadi rumah itu sudah langsung ambles 100 persen. Barang, ijazah semua nggak sempat kami selamatkan di hari itu. Saat air menyembur itu kan mendorong barang-barang dagangan sebagian ke luar, nah hanya sisa-sisa itulah yang kami dan warga selamatkan," kata dia.
"Saya itu baru sehari setelahnya dapat telepon dari keluarga di Sumatera, karena sempat ada salah tulis nama saya di media. Jadi mereka ragu, apakah itu saya? Kemudian mereka tahu dan telepon, ucapkan ikut berduka, beri semangat dari jauh," ucap Sole.
Ia dan istri tercinta masih syok, musibah besar tiba-tiba menimpa keluarga mereka. Meskipun rasa syukur tiada henti ia ucapkan sebab keluarganya diberi keselamatan hari itu.
Namun tak bisa dipungkiri, ada rasa sedih mendalam. Rumah itu jadi sumber rejeki untuk Sole sekeluarga. Penghasilan satu-satunya dari toko kelontong itu bukan cuma cukup untuk biaya hidup sehari-hari, tapi juga mampu menyekolahkan keempat anaknya.
"Toko itu penghasilan kami satu-satunya. Saya dan istri merantau ke Bandung ini sudah dari 1993, awalnya saya jadi sopir angkot. Sampai kami punya rejeki, mulai lah buka toko kelontong, sembako. Karena jadi sopir penghasilannya sudah semakin minim, tergeser oleh gojek, grab," kenang Sole.
"Sudah rejeki kami di situ, kami bisa sekolahkan putra kami yang kedua ini sampai jadi polisi. Putri sulung kami juga sekarang sudah kerja, kemudian ada dua anak kami masih SMP dan SMA," lanjutnya.
Rasa cemas pun juga masih tersisa dalam benak Bripda Andrew Simamora (20), putra kedua Sole dan Rida yang berprofesi sebagai polisi. Hari saat kejadian, ia sedang bertugas di Kuningan, Jawa Barat. Kabar mengejutkan dari keluarganya langsung membuatnya kalut dan minta izin untuk pulang menemani keluarga.
"Iya hari itu saya pulang langsung ijin dengan Kasat, saya panik. Rabu malam itu saya langsung pulang, Minggu nanti malam sudah harus balik ke Kuningan dan besok bertugas lagi," ucapnya.
"Ya sedih banget sekarang rasanya, rumah itu sudah 15 tahun lah jadi rejeki kami. Harapannya semoga keluarga saya sehat, bisa kembali lagi dagang, dan kemarin janji dari PDAM itu bisa ditepati," lanjut Andrew.
Kini, Sole mengaku masih kosong dan tak tahu harus menyusun hidupnya bersama keluarga dari mana. Saat ini mereka sekeluarga tengah tinggal sementara di rumah kontrakan yang letaknya tepat di depan puing rumahnya.
"Sejak itu rasanya masih blank, kita nggak tahu ke depannya gimana. Seragam, sepatu, ijazah anak-anak saya juga habis kan. Mungkin besok baru mau diurus dan kemarin dari sekolah anak-anak saya sudah datang, katanya mereka bisa langsung sekolah dulu nanti semua akan dibantu," ucapnya.
"Saya terima kasih juga dengan Pak Dirut PDAM, kemarin sudah ketemu dan katanya akan ada penggantian. Hanya saja katanya mungkin di atas situ untuk warung kami dibuat semacam dari papan bukan beton lagi, sementara kami pindah atau gimana itu masih nanti," imbuh Sole.
Di sisi lain, ia merasa berterima kasih dengan beberapa pihak yang mencoba membantu. Sole berharap, keluarganya bisa menyusun kehidupan kembali seperti dulu kala.
"Harapannya ya semoga betul adanya kemarin dijanjikan ada penggantian. Semoga sesuai dengan kebijakan yang dijanjikan, mudah-mudahan benar adanya. Semoga juga mereka yang membantu diberi kesehatan, kami juga bisa berdagang seperti dulu lagi," doanya.
(aau/mso)