Wajah Sungai Cikapundung di era kolonial jadi pelengkap kecantikan Kota Bandung saat itu. Pegiat sejarah, Muhammad Ryzki Wiryawan menceritakan pada zaman Belanda, sepanjang bantaran sungai terbebas dari permukiman warga dan dihiasi rimbunnya hutan pepohonan.
"Jadi bantaran sungai itu masih alami, karena Belanda juga pengen bikin Sungai Cikapundung sebagai kawasan konservasi. Jadi masih alam ya di pinggirannya, bahkan ada kawasan kebun bibit misalnya yang jadi jubileum park atau kebun binatang sekarang. Ke kawasan alun-alunnya juga masih bersih," kata Ryzki saat dihubungi detikJabar, Selasa (21/5/2024).
Penulis buku 'Okultisme di Bandoeng Doloe' dan pegiat Sahabat Heritage itu menjelaskan pada zaman Hindia Belanda, daerah Dago tepatnya Curug Dago-Babakan Siliwangi menjadi tempat wisata favorit. "Wilayah itu terkenal pada zamannya, secara view itu sudah jadi tempat yang menarik ya. Dari mulai Tamansari sampai ke Cikapayang juga. Termasuk di Viaduct mengalir air sungai yang jernih. Bersihnya air sungai bisa dibuktikan dari di sana ada pabrik es Saripetojo, itu sudah mulai dari jaman kolonial. Mungkin itu salah satu bukti bahwa dulu airnya masih bersih, masih bisa diolah untuk jadi es," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Potret keindahan Curug Dago yang mengaliri Sungai Cikapundung juga tertangkap dalam arsip KITLV tahun 1924. Narasi foto tersebut tertulis dalam bahasa Belanda, memotret Kobus Nell dan keluarga Van Loon berfoto di air terjun Dago, Tjikapondoeng.
Konon, kejernihan air Sungai Cikapundung mampu terbingkai sempurna mengalir di bawah jembatan Viaduct, Braga, Kota Bandung. Jalan Braga yang dijuluki Parijs van Java jadi begitu indah dengan pemandangan aliran sungainya.
Jika hiburan mewah di gedung-gedung untuk para pejabat dan bangsawan kolonial tak bisa dirasakan oleh warga pribumi, Sungai Cikapundung mungkin jadi salah satu 'fasilitas' yang bisa dinikmati siapapun.
Warga pribumi yang mulai tinggal di area pepohonan bantaran sungai, biasa menggunakan aliran Sungai Cikapundung untuk mandi, keperluan rumah tangga, dan mencuci. Lambat laun pemukiman itu pun semakin padat.
Namun, Ryzki sempat menjadi saksi pada awal 1990 kealamian kawasan Cikapundung masih terjaga. Bahkan, Sabuga disebut masih merupakan areal persawahan.
"Air Cikapundung itu masih cukup sehat buat mengairi sawah itu. Dulu saya masih ngalamin waktu masih sawahan. Orang-orang yang berenang gitu ya, saya bisa melihat anak-anak tertawa berenang di sungai itu bukan pemandangan langka dulu," tutur Ryzki.
Kejernihan air Sungai Cikapundung juga sedikit tergambar dalam buku Wisata Parijs van Java oleh Her Suganda. Cikapundung yang melintas di tengah Kota Bandung, memiliki aliran air yang bersih dan terdapat beberapa air terjun atau curug.
"Jalan Dago Pakar-Maribaya merupakan jalan kecil yang hanya dilalui para pejalan kaki. Kita akan menjumpai pemandangan indah, udara sejuk yang relatif masih bebas dari polusi dan ditingkahi gemericik Sungai Cikapundung. Beberapa bagian dari sungai ini memiliki air terjun yang disebut curug," tulisnya.
"Curug Lalay merupakan air terjun yang berada di antara dua tebing curam. Dinamakan demikian karena tebing-tebing itu menjadi habitat lalay atau kelelawar. Air terjun Curug Omas setinggi 30 meter merupakan fenomena alam yang tak kalah menariknya. Butir-butir air yang berasal dari air ini melahirkan pemandangan menarik berupa pelangi," lanjut Her Suganda.
Sudarsono Katam dalam bukunya yang berjudul Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950 juga menceritakan keindahan Bragaweg dan Tjikapoendoeng (Jalan Braga dan Sungai Cikapundung), keduanya merupakan satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Pada tahun 1800, Braga menjadi jalan setapak yang menyusuri tepi aliran sungai sampai ke hulu sungai Cikapundung.
"Jalan yang dapat dilalui orang berkuda, menghubungkan Dayeuhkolot, Alun-alun, Merdekalio (Jalan Merdeka), Balubur, Coblong, Dago, Bumiwangi, dan Maribaya sekarang ini, dengan jalan tradisional pada masa kerajaan Pajajaran yang menghubungkan Sumedanglarang dan Wanayasa, sehingga sempat dinamai jalan Wanayasa," tulis Sudarsono Katam melanjutkan.
![]() |
Cikapundung Pernah Merendam Bandung di Tahun 1952
Namun, Cikapundung juga pernah mengirim bencana untuk Kota Bandung di masa kolonial. Pada 29 September 1952 sekitar pukul 7 malam, musibah banjir dari luapan Sungai Cikapundung merendam pemukiman warga kala itu.
Musibah tersebut menjadi headline surat kabar Preangerbode yang ditulis dengan bahasa Belanda. Judulnya 'HUJAN, HUJAN, HUJAN... Bandjir di Tjikapundung mencuci banyak rumah'. Terpasang satu foto landscape memperlihatkan hampir setengah badan rumah tenggelam oleh luapan Sungai Cikapundung.
"Terutama pondok-pondok di Babakan Tjiamis mengalaminya tadi malam. Berat untuk bertahan selama banjir yang disebabkan oleh Tjikapoendoeng," tulis keterangan dalam foto tersebut.
Sementara dalam salah satu foto lainnya memperlihatkan sejumlah warga pribumi ramai-ramai menyelamatkan diri keluar dari tempat tinggalnya. Mereka pergi sembari menggendong anak-anak kecil dan membawa sebagian harta bendanya.
"Berkemas dan terpuruk, dengan menggendong anak-anak kecil, tadi malam para penghuni rumah di sepanjang Tjikapoendoeng berangkat ke tempat yang lebih aman," tulis Preangerbode dalam foto keduanya.
Hujan deras yang turun sejak pagi hingga sore di daerah hulu Cikapundung, menjadi penyebab banjir besar di beberapa bagian kota Bandung hari itu. Kejadian paling parah terjadi di Kampung Babakan Ciamis, antara Jalan Wastukantjana dan Pabrik Kinine (Wastukencana dan Pabrik Kina, Jalan Pajajaran, Pasirkaliki).
![]() |
"Lalu Tjibantar (antara Banceuy dan Braga) dan Pengarang (di belakang Hotel Savoy Homann) mengalami penderitaan serius dari bandjir ini, yang disebabkan oleh Tjikapundung yang melangkah keluar dari atasannya (meluap -red)," tulis surat kabar tersebut.
Puluhan rumah dan gudang terendam air dan hanyut terbawa arus. Ratusan warga kampung terpaksa mengungsi dengan segera sambil membawa harta mereka yang paling berharga. Uniknya, para warga pribumi itu kemudian diungsikan sementara di restoran mewah di Jalan Braga, Maison Bogerijen (sekarang Restoran Braga Permai).
"Banyak yang menunggu di udara terbuka, untungnya hujan telah berhenti dan memberi cahaya pada bulan pucat. Sementara Maison Bogerijen membuka pintu lebar untuk tunawisma sementara dari daerah Braga," tulis Preangerbode.
Banjir itu diperkirakan setinggi satu meter, bahkan diceritakan luapan air terlihat di jembatan jalan Wastukantjana dan Kebon Sirih (Viaduct). Sehingga, Jalan Kebon Sirih kemudian ditutup untuk semua lalu lintas dengan jalanan yang dipenuhi lumpur.
(aau/sud)