Fenomena Bank Emok Sukabumi, Kucing-kucingan hingga Warga Kapok

Fenomena Bank Emok Sukabumi, Kucing-kucingan hingga Warga Kapok

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Senin, 06 Mei 2024 17:15 WIB
Suasana perkampungan di Cikakak, Kabupaten Sukabumi.
Suasana perkampungan di Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar
Sukabumi -

Belum lama ini, sejumlah spanduk penolakan Bank Emok dan bank keliling viral di Sukabumi. Alasannya kehadiran pinjaman berkedok koperasi itu membuat sejumlah nasabahnya terjebak dalam lingkaran utang dengan sistem yang menjurus ke riba.

Penelusuran detikJabar, fenomena Bank Emok bukanlah hal yang asing, tidak hanya di Sukabumi tapi juga masyarakat Jawa Barat secara umum. Bank Emok datang dengan pinjaman uang tanpa agunan, hanya butuh identitas kependudukan.

"Istilah Bank Emok teh ibu-ibu araremok (duduk-duduk), kebiasaan Bank Emok jangankan ratusan ribu, kurang bayar Rp 5 ribu saja ditunggu sampai magrib, bahkan sampai malam," tutur Na ibu rumah tangga di Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Senin (6/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Na menyebut, biasanya Bank Emok akan memberikan pinjaman ketika kalangan emak-emak berkelompok atau dijadikan satu kelompok. Utang satu orang menjadi utang bersama, satu kelompok itu saling berkaitan dan siap mempertanggungjawabkan utang temannya dalam satu kelompok.

"Ada istilah 'berjanji', semacam ikatan perjanjian yang diucapkan bersama-sama. Bank Emok-nya rekam video, kalau ada yang telat bayar videonya jadi bahan saat menagih. Tapi beda-beda juga cara masing-masing praktik seperti itu," tutur Na.

ADVERTISEMENT

Na sendiri mengaku pernah terjerat utang yang cukup besar, karena semakin dia meminjam kemudian tepat membayar maka jumlah pinjaman juga akan semakin besar ditawarkan.

"Bunganya enggak kuat dari awal minjam Rp 500 ribu, bunganya 30 persen ketika pencairan dipotong administrasi. Saya pernah sampai pinjam Rp 10 juta, nggak terbayar tiap bulan bayar bunganya saja. Akhirnya kucing-kucingan, sampai bertengkar dengan suami dan akhirnya diberesin dan kapok nggak pinjam-pinjam lagi sampai sekarang," ujarnya.

Lain lagi dengan Ri, ia mengaku kerap kucing-kucingan dengan Bank Emok ketika jatuh waktu membayar. Hingga kini ia terjerat lingkaran bunga yang tinggi, dari pinjaman sebesar Rp 2,5 juta, tiba-tiba ia harus membayar hampir Rp 5 juta.

"Kepepet biaya seragam sekolah anak dan keperluan sehari-hari akhirnya minjam ke Bank Emok. Pinjam Rp 2,5 juta janji bayar tiap minggu, bayar sampai ke berapa kali akhirnya saya mikir kok utangnya enggak banyak berkurang. Ketahuan suami, ya sekarang kucing-kucingan dengan Bank Emok," tutur Ri.

Ri kenal dengan Bank Emok setelah sempat jadi kuli duduk, identitasnya dipinjam tetangganya . Ia hanya punya atas nama sementara uangnya untuk si peminjam, ia hanya kebagian honor atas peminjaman uangnya.

"Dulu kebagian berapa ratus ribu ya, soalnya tetangga pinjam Rp 2,5 jutaan. Setelah tetangga lunas, akhirnya saya sendiri ikut minjam. Ya sampai akhirnya kucing-kucingan sampai sekarang," lirihnya.

Keberadaan Bank Emok, Bank Keliling kemudian memantik kesadaran Gempa (Gerakan Muslim Penyelamat Akidah) untuk memasang spanduk-spanduk penolakan kehadiran Bank Emok.

"Dari tahun 2017, sampai keliling waktu itu menyadarkan masyarakat di wilayah Pajampangan. Kita audensi di setiap kecamatan, terus ke DPRD waktu itu kami minta khusus ke simpan pinjam Bank Emok, Bank Keliling yang mengatasnamakan koperasi, padahal kan bodong, kami minta di setop dan diaudit," kata Opik, Ketua Gempa.

Cara penagihan hingga bunga yang tinggi disebut Opik membuat keresahan di masyarakat. "Di situ timbul keresahan, karena apa? Bank tersebut berkeliaran ke kampung-kampung, pinjam dari bank ini, enggak ke setor, minjam ke bank ini terus begitu, gali lubang tutup lubang. sedangkan suaminya enggak tahu, ketika suaminya tahu ribut bahkan berujung pertengkaran rumah tangga," tuturnya.

(sya/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads