Tingginya kasus DBD di Kota Bandung tengah jadi sorotan. Efektivitas nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia pun dipertanyakan.
Sekedar informasi, nyamuk ini memang telah diuji coba penyebarannya di Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung sejak akhir 2023 lalu. Dijelaskan oleh Prof Wawan Hermawan, Guru Besar Departemen Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, nyamuk-nyamuk 'mahal' ini sejatinya bukan tidak efektif namun butuh proses agar bisa menyebar sempurna.
"Masyarakat itu banyak yang inginnya instan, langsung mati begitu (nyamuknya). Padahal tidak bisa begitu, perlu proses dan ini juga baru sekali disebar. Alam itu tidak bisa instan. Semisal masa optimalnya baru satu tahun, maka ya selama itu harus ada edukasi ke masyarakat," katanya saat dihubungi detikJabar, Kamis (2/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, implementasi nyamuk wolbachia baru dilakukan di 1 dari 151 kelurahan se-Kota Bandung. Bibit nyamuk yang disebar, mulanya adalah telur berjenis aedes aegypti yang sudah diinjeksi kuman Wolbachia.
Bakteri yang dapat tumbuh di tubuh serangga ini, mampu melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Tujuannya, nyamuk itu bisa berkembang biak dan tak menularkan virus itu ke tubuh manusia.
Setiap satu ember yang ditaruh di titik-titik tertentu, berisi 160 bibit nyamuk aedes aegypti yang sudah berwolbachia. Namun, tak semua nyamuk dapat menetas sempurna. Wawan pun menyebut proses itu adalah hal normal.
"Alam itu memang jujur. Ada yang menetas dan tidak itu sebagai salah satu wujud mempertahankan keturunan yang terbaik. Misalnya kita mengimplementasikan 100 telur, itu ada yang gagal menjadi dewasa. Sifat semua makhluk hidup itu ingin melanjutkan turunnya yang lebih baik. Itu sudah alami. Itu normal," ujarnya menjelaskan.
"Jadi dari sekian ratus bibit pasti ada yang jelek, ada yang mati, ada yang tidak menetas, ada yang cacat. Bisa juga dipengaruhi suhu tiba-tiba hujan. Alam itu beda, kalau di laboratorium karena terstandar, pasti running well. Tapi ketika dilepas di lapangan belum tentu," lanjutnya.
Wawan menyebut, penyuntikan kuman wolbachia bukanlah rekayasa genetik dan tak mempengaruhi siklus hidup nyamuk. Ia memuji metode tersebut, sebab telur menjadi investasi untuk generasi berikutnya.
"Kalau ke telur memang bagus gitu ya. Telur itu kan investasi yang sangat besar. Dia akan menetas dan akan menghasilkan generasi berikutnya. Sebagai langkah preventif itu keren. Jadi karena investasi kan dia akan menginvestasikan nanti generasi berikutnya," ucap Wawan.
Ia pun berharap, ke depannya nyamuk wolbachia dapat mencapai angka populasi yang optimal. Menurutnya, penggunaan obat-obat pembasmi nyamuk sintetik yang terkesan instan, dapat memunculkan bahaya nyamuk resisten.
"Kalau sering menggunakan obat sintetis itu bahayanya resisten. Nyamuk yang resisten atau tahan, bisa lolos, berkembang biak dan bisa outbreak. Bisa berjumlah lebih banyak karena lebih tahan. Jadi prinsipnya harus bijak penggunaan pestisida atau bahan yang kimia," katanya.
Wawan pun mendorong agar Pemerintah lebih keras lagi melakukan publikasi untuk memerangi disinformasi yang bisa membuat masyarakat khawatir. Niat baik pemerintah, kata Wawan, harus diimbangi dengan masifnya penanganan dan pemberian informasinya.
"Kalau menurut saya dari sudut pandang biologi, wolbachia ini adalah bakteri yang ada di serangga, kupu-kupu, secara alami begitu. Kalau di masyarakat sih umumnya itu ketakutan karena ada istilahnya bionik, khawatir menyebabkan orang menjadi sakit radang otak. Padahal itu secara ilmiah berbeda, itu bukan. Beda spesies," ucap Wawan.
"Jadi mungkin edukasi dari media supaya kekhawatirannya tidak muncul. Pemerintah musti masif menjelaskan ke masyarakat. Saya kira itu akan lebih baik untuk mencegah disinformasi ini," pesannya.
Sebelumnya diberitakan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung mencatat sepanjang Januari sampai minggu ketiga bulan April 2024, angka penderita demam berdarah dengue (DBD) tembus hingga 3.468 kasus dengan 14 kematian.
Angka ini membuat Kota Bandung menjadi 'juara' jumlah kasus DBD baru terbanyak di Indonesia tahun 2024. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bandung, dr Ira Dewi Jani menjelaskan Dinkes terus berupaya agar proses penitipan ember nyamuk wolbachia dapat optimal, di tengah penolakan warga untuk dititipi ember nyamuk wolbachia.
"Kemudian sekali menitipkan, harusnya ada 308 ember yang disebar. Tapi yang berhasil dititipkan hanya 33%. Kemarin warga sempat banyak yang menolak karena ada misinformasi, jadi yang bisa dititipkan hanya 173 ember. Tidak berhasil sebanyak 67%," ucapnya.
(aau/mso)