Kehidupan seseorang tak bisa ditebak. Siapa sangka seorang yang kaya raya dulunya merupakan tukang cuci piring di restoran.
Hal itulah yang dialami oleh Jensen Huang. Dia merupakan pendiri perusahaan chip grafis komputer terbesar, Nvidia.
Kesuksannya tak diraih secara instan. Tapi kini, dia meraih kesuksesan besar lantaran chi AI Nvidia laris manis di pasaran. Perusahaannya pun jadi yang paling bernilai di dunia,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di balik kesuksesan tersebut, ada kisah penderitaan yang dialami Jensen Huang. Dilansir dari detikInet, Jensen Huang terlahir bukan sebagai anak yang kaya raya.
Lahir di Taiwan pada tahun 1963, Jensen kecil pindah ke Thailand saat usianya 5 tahun. Empat tahun kemudian atau ketika usianya menginjak 9 tahun, Jensen dan suadaranya dipindahkan ke Tacoma, Amerika Serikat untuk tinggal bersama pamannya. Orang tuanya lalu menyusul.
"Ayahku berkeinginan untuk membesarkan kami di negara yang luar biasa ini," kata Jensen, dikutip dari NY Post.
Oneida Baptist Institute merupakan sekolah pertama Jensen di AS. Mulanya, keluarga mengira sekolah tersebut bergengsi, tapi berisi anak-anak bandel. Bahkan Jensen bercerita pernah diancam pisau dan sering membersihkan toilet.
"Aku telah membersihkan lebih banyak toilet dari kalian semua," katanya saat pidato di depan lulusan Stanford.
Beranjak remaja atau di usia 15 tahun, Jensen mulai memikirkan untuk mendapat penghasilan. Pekerjaan pertamanya yakni tukang cuci piring di restoran Denny's.
"Ini adalah pilihan karir yang bagus. Aku sangat merekomendasikan setiap orang memulai pekerjaan pertama di bisnis restoran, itu mengajarkan kerendahan hati dan kerja keras. Aku mungkin adalah pencuci piring terbaik Denny's," katanya.
Ketika kuliah, Jenden pun tak memilih universitas yang ternama. Dia memilih masuk di Oregon State University lantaran menganggap iayanya lebih rendah.
Di sana, dia bertemu dengan Lori Mills, satu-satunya perempuan di teknik elektro. Jensen dan Mills pun menikah dan sudah bertahan hingga 30 tahun.
Selepas kuliah, Jensen mulai bekerja di perusahaan chip. Sembari bekerja, Jensen juga menempuh pendidikan dengan mengambil gelar master di Stanford selama delapan tahun.
Pada tahun 1993 tepatnya saat Thanksgiving, Jensen bertemu dengan dua rekannya yakni Chris Malachowsky dan Curtis Priem. Mereka berencana untuk mendirikan perusahaan sendiri. Uniknya, sketsa perencanaan perusahaan dibuat di atas serbet.
Singkat cerita mereka mendirikan Nvidia dengan modal USD 40 ribu. Tahun 1999, Nvidia diperkenalkan dengan produk pertamanya untuk grafis komputer. Siapa sangka, produk itu jadi batu loncatan perusahaan Nvidia meraih kesuksesan.
Jensen mulai meramu lagi rencananya mengembangkan perusahaan. Di tahun 2014, Jensen punya ambisi untuk membuat chip AI. Ambisi itu pun tercipta hingga akhirnya saat ini AI meledak dan Nvidia meraih kesuksesan besar.
Jensen punya saham 3,5 persen di Nvidia. Saat ini, Forbes mencatat kekayaan Jensen tembus USD 70 miliar atau lebih dari Rp 1.000 triliun.
Jensen menyadari kesuksesan tak diraih dengan instan. Dia bahkan menyatakan setiap orang perlu merasakan penderitaan demi kesuksesan.
"Kupikir salah satu keuntungan terbesarku adalah ekspektasi rendah. Kebanyakan lulusan Stanford punya ekspektasi sangat tinggi," katanya.
"Orang dengan ekspektasi sangat tinggi ketangguhannya sangat rendah, padahal ketangguhan penting untuk sukses. Aku tidak tahu bagaimana mengajari kalian kecuali kuharap penderitaan terjadi pada kalian," kata dia menambahkan.
Artikel ini sudah tayang di detikInet, baca selengkapnya di sini
(fyk/dir)