Hujan rintik-rintik kala itu mulai menipis. Saat menyusuri jalanan Ir. H. Djuanda mulai dari arah bawah hingga ke persimpangan Dago. Terlihat seorang pria yang sedang membawa beberapa bunga untuk dijual di lampu merah simpang Dago.
Pria memakai topi dengan baju lengan pendek berwarna krem ditambah dengan kaos dalam panjang berwarna hitam. Lelaki tersebut bernama Wahyudi kini usianya sudah lebih dari 60 tahun.
Wahyudi berasal dari Solo yang sudah menetap di Bandung dari tahun 1988. Ia berjualan bunga asongan di simpang Dago mulai sejak tahun 2007.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ya jualan bunga, habis mau usaha apa, dulu saya sempat waktu masih dari bujang gitu dari sini tahun 88, saya sudah kerja dulu zamannya Dago Guest tahun 90 dibangun sampai sana sini," ucap Wahyudi kepada detikJabar, Senin (22/4/2024) sore.
Percakapan tersebut terpotong karena ada pembeli bunga milik Wahyudi. Setelah selesai meladangi, ia kembali bercerita bahwa ketika bekerja di Hotel Royal Dago, ia mengundurkan diri dan kembali pulang ke kampung halamannya di Solo selama 3 bulan.
Setelah dari kampung, Wahyudi kembali lagi ke Bandung. Untuk pertama kalinya ia ke Bandung lagi, Wayudi berjulan rokok asongan di lampu merah Simpang Dago, saat itu ia ingin memiliki usaha yang baik namun tidak memiliki modal yang pada akhirnya mencoba untuk jualan bunga.
"Lari ke Bandung saya ngasong rokok (jualan rokok batangan di lampu merah), pertama awalnya ngasong sebelum kembang tahun 2004. Sampai sekarang pun juga masih mengantongi rokok, kebetulan udah pada tahu semua. Karena saya habis mau usaha apa, bingung neng. Mau usaha yang bener tidak punya modal, akhirnya saya jualan coba-coba jualan bunga," pria bertopi cream itu.
Tempat jualan bunga, Wahyudi tidak berpindah-pindah tetap di dekat lampu merah simpang Dago atau di depan hotel Royal Dago. Saat itu menurut Wahyudi banyak orang Lembang yang jualan bunga di tepi jalan ini hingga Wahyudi mengikutinya dan memiliki penghasilan yang lumayan cukup.
"Di sini jadi dulu ngasong bunga ini karena dulu di sini orang-orang Lembang, juga awalnya orang lembang, jadi ikut-ikutan. Yang akhirnya ikutan jadi ya udah lumayan hasilnya sampai sekarang. Pengennya lebih baik itu, tidak ngasong di jalanan karena udah tua," kata Wahyudi.
Selain dari pada itu juga, tempat jualanya di sini karena ia hanya tahu jalan ini sebab dahulu kerjanya di sekitaran Ir. H. Djuanda yakni di hotel Royal Dago dan Dago Guest.
Masa awal-awal jualan bunga ini cukup ramai apalagi ketika weekend tiba. Sayangnya ketika saat ini banyak yang menggunakan aplikasi online seperti ojek online, usaha Wahyudin kian menurun. Bahkan bayar kontrakan rumah tinggalnya itu sering telat.
"Kalau dulu masih bagus neng jualan bunga juga, jualan rokok pun saya masih bagus. Sehari saya bisa mendapatkan hasil Rp. 200 ribu sudah bersih. Itu dulu sebelum ada istilahnya online karena kan dulu angkot masih banyak gitu. Saya mau bayar kontrakan aja 1 bulan Rp. 1 juta, kalau dulu saya tidak berat bisa ada lebih, tapi sekarang aduh kadang-kadang juga telat neng," paparnya.
Ia memiliki tiga orang anak laki-laki. Anak pertama sudah berkeluarga, anak kedua sudah bekerja dan akan menikah, sedangkan anak ketiga duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ia bisa menghidupi keluarga hanya dengan jualan asongan bunga dan rokok. Bagi dirinya jalanan ini sumber rezeki.
Beragam warna pada bunga mawar yang terlihat sangat cantik itu ada warna putih, merah, dan merah muda. Ia membeli bunga yang sudah jadi dan ada yang mengantarkannya dengan harga sekali beli Rp. 200 ribu. Tetapi, ketika dahulu ia bisa membeli langsung ke lembang dan merakitnya sendiri.
Pasti setiap usaha memiliki risikonya masing-masing, seperti tukang bunga jika bunganya layu maka mau tidak mau harus dibuang dan tidak mendapatkan keuntungan bahkan modal pun sepertinya tidak kembali.
"Risiko namanya jualan neng, kalau layu udah tidak layak, tidak jual tapi dibuang. Namanya usaha kalau laku ya alhamdulillah," kata Wahyudi dengan raut muka yang sedih.
Semua manusia pasti pernah berkeluh kesah, sama seperti yang dirasakan Wahyudi ketika bunganya tidak laku. Tiap hari Wahyudin harus bangun pagi hingga tengah malam kembali pulang untuk tidur, terus seperti itu. Lelah pasti dirasakan, namun ia semangat terus dan sangat senang jika bunganya laku karena bisa mendapatkan penghasilan serta bisa balik modal.
Namun saat ini usahanya berbeda seperti awal-awal yang setiap weekend selalu ramai. "Sekarang tidak bisa ditentukan, tidak bisa diprediksi neng, zaman dulu Sabtu Minggu ramai tapi sekarang sama aja tidak menentu," tutur Wahyudi.
Uang penghasilannya dalam sehari, Wahyudi berikan kepada istrinya uang makan Rp. 60 ribu, serta uang lebihnya ia gunakan untuk modal atau bayar kontrakan.
Harga bunga yang dijualnya mulai dari Rp. 25 ribu-Rp. 30 ribu. Ada hal yang menarik saat berjualan yakni ada yang beli bunga namun tidak mau diberi uang kembalian.
"Harga Rp 20 ribu, Rp 25 ribu, Rp 30 ribu. Ada aja yang nawar. Kadang ada yang beli nawarkan Rp 35 ribu ngasih Rp 50 ribu dipulangin (dikembalin) juga ada yang tidak mau ya senang kalau gitu," ucap pria itu sambil tersenyum.
Tidak hanya jualan di trotoar saja, Wahyudin ditemani istrinya sesekali jualan di kampus-kampus ketika sedang ada kegiatan wisuda.
Saat ditanya harapan, ia berkeinginan untuk membuka warung karena menurutnya makin lama makin tua dan tidak bisa terus untuk jual bunga asongan terus, jadi harus lebih baik lagi kedepannya.
"Inginnya lebih baik lagi, pingin buka warung, jadi kalau buka warung itu kan cuman diam istilahnya gitu. Jadi tidak jalan-jalan gini, lebih baik lagi. Bingung dimana bahkan modalnya gimana gitu. Istilahnya kalau sekarang kan ada paribasa (perumpamaan) cari sehari untuk sehari gitu tidak bisa nyimpen uang," tuturnya.
Selama perbincangan ini berlangsung, Wahyudi selalu bilang prinsipnya ia yakni nomer satu dirinya, istri dan anak-anak sehat, serta untuk penghasilannya seberapa pun yang penting usaha dan niat yang kuat.
Di akhir selesai mengobrol, Wahyudi mengeluarkan dompet dan melihatkan kartu kerja Satpam di Dago Guest dan beberapa foto saat ia sedang tanding tinju.
(yum/yum)