Suka Duka Kakek Darma, Berjualan Hasil Kebun Sejak Zaman Penjajahan

Serba-serbi Warga

Suka Duka Kakek Darma, Berjualan Hasil Kebun Sejak Zaman Penjajahan

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 21 Apr 2024 13:01 WIB
Kakek Darma.
Kakek Darma (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar).
Sukabumi -

Tidak ada yang tahu pasti usia Kakek Darma, namun perkiraan pastinya sudah di atas 90 tahun. Kakek asal Kampung Pinang Gading, Desa Tamansari, Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi ini masih semangat berniaga meskipun di usia senja.

Entah sambil bercanda, Kakek Darma mengungkap usianya 135 tahun. Ia bercerita sudah biasa berjualan segala macam hasil bumi milikknya sejak zaman penjajahan Jepang. Ia menyebut bangsa tersebut Dai Nippon. Detil ia menceritakan kesulitan rakyat di masa itu.

"Makan nasi gadung yang bikin gatal tenggorokan, itu di zaman Dai Nippon. Serba susah serba sulit, masih muda di tahun itumah sudah mulai berjualan apa saja," tutur Darma, ia berbincang dengan bahasa Sunda yang kental, Sabtu (20/4/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masa-masa sulit di zaman penjajahan Jepang berlanjut hingga ke zaman kemerdekaan, saat radio memutar proklamasi Darma muda mengucap syukur. Meski ekonominya tak membaik, namun ia bisa merasakan alam kemerdekaan.

"Jualan tidak lagi harus serba takut, kemana aja bebas. Tidak harus diperiksa-periksa," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Di usianya yang tidak lagi muda, tampilan setelan Darma sedikit nyentrik. Dengan Topi Laken di kepala, sepatu santai putih dan celana yang sengaja ia lilit ke atas alias ngatung, atau cingkrang.

Darma berjualan pisang hasil kebun miliknya. Sebagian pisang, ia peroleh dengan cara membeli dari tetangganya. Warga Cibadak sering melihat ia memikul pisang mulai dari kawasan pertokoan, kantor pos dan Pasar Cibadak.

"Di rumah ada anak dan cucu, saya bawa pisang dari rumah pagi-pagi sekali. Salat dulu, lalu nunggu mobil dari Cikidang ke Cibadak. Sehari Rp 20 ribu ongkos, kalau pulang pergi total Rp 40 ribu," tuturnya.

Hasil yang dia peroleh dari berjualan pisang sebenarnya mepet antara modal dengan ongkos. Ia lupa, ongkos naik merangkak bersama harga bahan bakar. "Heueh oge nya (iya juga ya)," celetuknya saat diminta berhitung antara hasil jualan dengan ongkos, ia berkelakar dengan gestur berlagak kaget.

"Yang penting nggak diam di rumah, ada kegiatan. Walau penghasilan enggak seberapa, enggak sebanding dengan modal yang penting enggak bikin sulit keluarga di rumah," lirihnya menambahkan.

Kakek Darma tinggal dengan anak dan cucunya, satu rumah dihuni 5 orang. Istrinya sendiri telah lama meninggal dunia, hal itu yang kemudian membuatnya tidak betah di rumah.

"Nggak mau menyulitkan di rumah, ya saya bawa berbagai pisang. Keliling di trotoar, di emperan terminal keliling Kota Cibadak sudah lama sejak zaman dulu seperti ini memang kalau dulu masih banyak lebihnya kalau sekarang ya yang penting berkegiatan," bebernya.

"Saya bawa pisang Raja, Pisang ambon, Pisang Jimbluk. Sebagian punya saya sebagian saya beli dari petani lain," lirihnya menambahkan.

Kakek Darma perlahan beranjak, ia memegangi pinggannya yang bungkuk, lalu mengangkat pikulan bambu. Seraya tersenyum dia mulai melangkahkan kakinya, baru beberapa meter berjalan senyumnya merekah, seorang pembeli tampak menghentikan langkahnya.

(sya/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads