Cerita Didik Raharyono soal Eksistensi Harimau Jawa

Cerita Didik Raharyono soal Eksistensi Harimau Jawa

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 23 Mar 2024 19:30 WIB
Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa
Foto: Istimewa/tangkapan layar
Sukabumi -

Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa (PVJ) sebuah organisasi nirlaba yang melakukan penelitian terkait eksistensi harimau jawa mengaku tidak terkejut dengan hasil penelitian yang diterbitkan di Platform Cambridge University Press, Cambrige Core.

Jauh-jauh hari Didik sudah rajin blusukan keluar masuk hanya untuk menelusuri jejak harimau jawa. Sejumlah fakta ia temukan, sejumlah spesimen ia kumpulkan untuk diteliti, salah satunya feses atau kotoran hewan tersebut.

"Selama ini orang menyebut bulu, yang benar itu rambut untuk mamalia rambut, bulu untuk burung," kata Didik mengawali perbincangan melalui sambungan telepon dengan detikJabar, Sabtu (23/3/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Didik rajin mendokumentasikan setiap penelitiannya di Youtube PKJ yang dia kelola, salah satu yang paling menarik adalah penelitian terhadap feses hewan tersebut yang menurut Didik berbeda dengan karnivora lainnya.

"Feses atau kotoran harimau jawa, di Youtube kebetulan minggu kemarin saya upload. Saya pendekatan di diameter ukuran feses itu ketika dia lebih dari 4 sentimeter itu harimau jawa, jadi ada yang 5 sentimeter ada yang 7 sentimeter, saya coba jelaskan di video saya itu yang diameternya 7,5 sentimeter. Yang menemukan (feses) itu warga penduduk bukan petugas yang saya bongkar itu," ujar Didik.

ADVERTISEMENT

Melalui feses atau kotoran tersebut, Didik bisa mengungkap di area mana harimau menyantap mangsanya. Karena saat disantap, rumput hingga spesimen lain ikut masuk ke dalam lambungnya.

"Itu mencerminkan fesesnya yang ketika memangsa harimaunya itu ada di bawah vegetasi rumpun bambu, dan pandan hutan karena ikut termakan," tutur Didik.

"Harimau jawa mempunyai satu perilaku ketika sisa mangsanya itu tidak habis dalam satu kali pemangsaan maka akan ditimbun. Itu yang membedakan dengan macan tutul, kalau macan tutul mangsanya dibawa ke pohon," sambung dia.

Menurut Didik, hasil penelitian itu merupakan penegasan karena dibuat oleh mereka yang berkompeten. Namun saat ini yang jauh lebih penting adalah bagaimana manusia dan hewan itu bisa berdampingan tanpa terjadi konflik.

"Karena penduduk jawa saat ini padat, kemudian sebenarnya secara alami harimau jawa masih ada di hutannya. Tapi ketika pemberitaan itu gencar yang hampir 100 persen berita yang dikeluarkan oleh pewarta itu selalu ketika ada harimau atau karnivor besar dianggap meresahkan," ungkapnya.

Baaimana saat ini yang dibutuhkan menurut Didik, kebudayaan siap hidup berbagi ruang. Ia mencontohkan kasus di Sumatra di mana kantor dibakar karena ada konflik harimau yang menyerang manusia.

"Nah kebudyaaan yang harus kita gali lagi, bagaimana kebudayaan orang sunda, orang jawa terhadap karnivor besar itu, supaya kita bisa berbagi ruang, ya harimau memang di hutan manusia di desa semacam itu. Nah itu menurut saya lebih penting daripada pembuktian harimau jawa itu masih ada atau tidak," pungkasnya.

Diberitakan, sebuah laporan penelitian membeberkan fakta mengejutkan soal eksistensi Harimau Jawa. Spesimen penelitian sendiri bersumber dari sehelai rambut yang ditemukan di Desa Cipendeuy, Kabupaten Sukabumi.

Namun hasil penelitian itu itu tidak terlalu mengejutkan bagi Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa (PKJ), sebuah organisasi nirlaba yang dikenal banyak melakukan penelitian terhadap populasi karnivora-karnivora di Jawa. Bahkan sampel spesimen yang mereka peoleh pernah diminta oleh pihak BRIN.

Didik sudah lebih jauh di depan dari sekadar membuktikan ada dan tidaknya hewan tersebut. Saat ini dia menyusun sebuah rencana bagaimana masyarakat bisa menerima kehadiran hewan tersebut.

"Biasa saja mas, karena rencana ke depannya Harimau Jawa setelah saya webinar di Kagama kemarin mengatakan bahwa pembuktian pencarian Harimau Jawa bagi saya sudah selesai. Fotonya di tahun 2018 kita presentasikan ke Pak Dirjen (KLHK), yang difoto warga itu dan berikutnya dipersiapan penerimaan kebudayaan bagaimana masyarakat Jawa saat ini untuk bisa menerima kehadiran warga yang dianggap karnivora," kata Didik melalui sambungan telepon dengan detikJabar, Jumat (22/3/2024).

(sya/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads