Kata ngabuburit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dirujuk dari kata mengabuburit, artinya menunggu azan magrib jelang berbuka puasa pada waktu Ramadan. Istilah ngabuburit yang populer di Indonesia ini sejatinya diambil dari Bahasa Sunda.
Budayawan sekaligus Ketua Lembaga Budaya Sunda (LBS) Universitas Pasundan (Unpas), Hawe Setiawan menyebut ngabuburit berasal dari kata dasar burit yang berarti sore atau petang.
"Istilah ngabuburit itu dari Bahasa Sunda. Burit itu berarti sore atau petang, di antara siang dan malam. Kata ngabuburit berarti melakukan kegiatan untuk mengisi waktu seraya menyongsong tibanya sore hari," katanya saat dihubungi detikJabar, Selasa (19/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi saya kurang tahu tepatnya kapan bahasa ini dikenal luas, saya kira saat saya kecil di tahun 1970-an kata itu sudah merebak. Boleh jadi sebelum generasi saya pun sudah ada istilah itu, karena kami kan juga meniru kata-kata dari orang tua kami," lanjutnya.
Laman resmi Unpas, mengutip isi dari Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS). Tertulis bahwa kata ngabuburit berasal dari kalimat ngalantung ngadagoan burit, atau bersantai sambil menunggu waktu sore.
Menurut Hawe, istilah ngabuburit sudah muncul sejak lama, kemunginan besar saat kebudayaan Islam mulai memasuki tanah Sunda. Istilah ini kemudian dikenal karena keunikan bahasa Sunda, yakni keterangan waktu (burit) bisa menjadi kata kerja setelah diberi kata awalan (nga-).
"Ada beberapa sebab mengapa ngabuburit jadi meluas dan jadi Bahasa Indonesia. Pertama karena pengucapannya tidak susah. Kedua, mungkin dalam Bahasa Indonesia belum ada atau kesulitan menemukan kata yang pas, untuk melukiskan kegiatan masyarakat saat menunggu buka puasa," ucapnya.
"Saat itu pun media sebetulnya belum banyak, sehingga saya kira mungkin dari mulut ke mulut ya, karena istilah ini sudah lama sekali," imbuh Hawe.
Istilah Lebaran yang Diserap dari Bahasa Sunda-Jawa
Lebaran dalam KBBI artinya hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal, setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan, atau Idul Fitri. Hawe menduga, istilah Lebaran juga diserap dari bahasa Sunda 'lubar' yang artinya bebas atau bubar. Mungkin juga dari istilah bahasa Jawa 'luwar' yang memiliki artian serupa.
"Nah kata Lebaran itu juga Sunda banget itu. Lebaran itu saya kira dari bahasa Sunda, tapi mungkin juga Jawa juga. Saya menduga kalau dalam bahasa Sunda ada kaitan sama lubar itu berarti terbebas. Dibebaskan dari sesuatu, dosa, jadi terbebas atau bersih dari dosa. Sehingga menjadi lubar, lebar, lebaran. Mungkin ya, ini dugaan aja sih," ujar Hawe.
Selain itu, kata yang kerap muncul di sosial media terkini ialah munggahan. Tradisi ini pun diambil dari budaya Sunda dan Jawa. Kata dasarnya yakni munggah, baik dalam bahasa Sunda dan Jawa artinya naik.
"Jadi unggah itu naik atau munggah berarti naik juga. Naik ke bulan suci atau ke bulan yang istimewa gitu. Sehingga ada kebiasaan mempersiapkan diri misalnya dengan membersihkan diri, keliling di sekitar rumah, dan sebagainya," tutur dia.
Tradisi Sambut Ramadan dan Ngabuburit, Dulu dan Kini
Kegiatan menyambut bulan Ramadan dulu dan kini, diakui Hawe tak jauh berbeda. Ada munggahan yang kini lekat dengan kebiasaan makan bersama tepat sebelum bulan Ramadan, selain itu ada pula tradisi berziarah ke makam kerabat.
"Selain Munggahan ada juga nyadran atau nyekar. Itu biasanya bersiarah ke kuburan atau membersihkan kuburan leluhur, orang tua, atau saudara yang sudah lebih dulu (meninggal). Dilakukan saat menjelang puasa atau lebaran," ucap Hawe.
Sementara kegiatan ngabuburit lambat laun semakin beragam dibanding awal kemunculannnya. Hawe menceritakan ada banyak kegiatan ngabuburit yang sebagian sudah mulai berubah, namun ada juga yang masih tetap eksis.
"Masih eksis orang berpergian ke tempat-tempat terbuka untuk menyenangkan ya. Kalau di Kota misalnya ke Alun-alun, kalau di desa ke halaman rumah atau ke tetangga, seperti orang saling bertemu. Kalau di kota kan, yang sampai sekarang berjalan yaitu ramenya, orang jual-beli makanan. Ini sekedar untuk melalui waktu aja sih sebetulnya, supaya tidak jenuh menunggu waktu maghrib," tutur Hawe.
Dulu, kata Hawe, ada musim tertentu baik anak-anak atau orang dewasa, ngabuburit dengan berburu kolang-kaling. Buah kenyal berbentuk lonjong dan berwarna putih transparan ini, kerap jadi pelengkap dalam minuman buka puasa.
Selain itu, ada pula pada momen-momen tertentu sejumlah anak-anak mengisi kegiatan ngabuburit dengan bermain permainan tradisional Jawa Barat, salah satunya bebeledugan atau meriam bambu.
"Kemudian ada yang tergantung waktu atau keadaan cuacanya. Ada yang ngabuburit dengan mengolah biji caruluk atau buah biji pohon Kawung. Kolang-kaling istilah orang Jawa. Itu sampai sekarang masih eksis, banyak dijual dan mungkin perburuannya tergantung daerahnya," kata Hawe.
"Misalnya anak-anak pada tanggal-tanggal tertentu, dulu di kampung biasa menyalakan Bebeledugan kalau di Sunda. Semacam meriam-meriam dari bambu yang kalau disulut akan berbunyi seperti meriam. Beberapa tahun yang lalu saya masih lihat di wilayah Ciamis atau di mana itu masih ada, hanya sekarang bukan lagi pakai bambu tapi pakai pipa paralon yang gede itu. Karena mungkin sekarang dapat bambu susah ya, jadi pakai pipa paralon yang ujungnya dimodifikasi," ceritanya.
(aau/sud)