Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu menilai sejauh ini efektivitas nyamuk wolbachia di Kota Bandung belum optimal. Kata dia, hal ini dikarenakan titik penyebaran dan jumlah telurnya masih terbatas.
"Kota Bandung sudah dimulai, baru satu Kelurahan di Kecamatan Ujungberung. Ini baru berjalan 19 persen, padahal harus 60 persen populasi nyamuk berwolbachia, baru bisa berdampak pada penurunan penyakit DBD," ujarnya di Balai Kota Bandung, Senin (18/3/2024).
"Normalnya itu enam bulan (bisa jadi 60 persen), karena sempat telurnya itu banyak yang nggak berhasil jadi nyamuk dewasa. Makanya harusnya per hari ini sudah 50 persen. Jadi sekarang akan ditambah lagi telurnya," lanjut Maxi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun begitu, Maxi mengaku soal penyebaran nyamuk wolbachia ini memang perlu dilakukan bertahap, sebab produksi telurnya pun baru di dua tempat yakni Yogyakarta dan Salatiga.
"Tapi kita ada tambah satu produksi telur di Bali. Sehingga sudah bisa kita kembangkan. Ada lima kota yang sudah kita kembangkan, itu kan mereka rata-rata ada yang sudah full kayak Bontang, Kupang, kalau sudah full kita pindah lagi ke sini," ucap Maxi.
Pihaknya pun masih terus melakukan monitoring agar populasi nyamuk wolbachia bisa mencapai 60 persen, menggantikan populasi nyamuk yang lokal. Setelah itu, barulah bisa dilihat seberapa dampak nyamuk tersebut bisa menurunkan kasus DBD.
Sementara itu Ketua Peneliti Wolbachia dari Universitas Gajah Mada (UGM), Adi Utarini mengatakan pelepasan Wolbachia itu memang dilakukan bertahap. Namun memang ada beberapa faktor yang memengaruhi kurang berhasilnya penyebaran wolbachia di Kota Bandung, salah satunya banyak disinformasi mengenai wolbachia.
"Peletakan ember itu lebih kurang 12 kali atau bahkan lebih. Kalau 12 kali setiap 2 minggu sekali, kan itu berarti butuh 24 minggu. Di Kota Bandung, Kepala Puskesmas tadi juga sempat bercerita, 2 kali pelepasan 100% masyarakat yang ketitipan ember itu mereka sudah yakin. Tapi karena disinformasinya cukup hebat, sehingga menimbulkan rasa khawatir. Ada cukup banyak yang takut untuk dititipi embernya. Tentu lalu pelepasannya menjadi tidak optimal," ucap Prof Uut, begitu sapaannya.
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM itu kemudian menyebut optimalisasi informasi terus berusaha dilakukan. Terkini, orang tua asuh ember nyamuk (sebutan untuk masyarakat yang dititipi ember), sebanyak 60-70 persennya sudah memahami dan sudah bersedia untuk dititipi ember.
"Nah ini harus berjalan lancar dulu sampai dengan kurang lebih 12 kali, sampai kemudian wolbachia itu bisa 60 persen dari nyamuk yang ada di alam. Ini memang butuh waktu agar proteksi untuk penurunan kasus denguenya optimal," kata Prof Uut.
"Nanti orang tua asuh ini ditugaskan untuk menjaga embernya, memastikan bahwa ember ini nggak buat mainan anak atau hewan peliharaan, pokoknya ember ini dalam keadaan yang optimal. Sehingga kemudian nanti kurang lebih 10 hari itu telurnya menetas kemudian menjadi nyamuk. Satu ember isinya kurang lebih jumlahnya 100-150 nyamuk," imbuh dia.
Selain itu, ia pun berharap agar para orang tua asuh ember nyamuk bisa membantu menyebarkan informasi yang benar. Seperti diketahui, dari 151 Kelurahan di Kota Bandung baru Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujungberung yang menjadi percobaan implementasi nyamuk wolbachia ini.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Anhar Hadian mengatakan sejauh ini belum ada rencana perluasan ke daerah lain.
"Tapi insyaallah kami akan upayakan agar kecamatannya bisa bertambah yang menerapkan wolbachia. Perkiraan para ahli juga estimasi waktu dampak penurunan kasus, bisa 1-2 tahun terlihat sekali. Kami upayakan di daerah lain, tapi memang tergantung produksi telurnya. Jika bertambah, ada peluang kita untuk menambah luas area," ujar Anhar.