Kala Monyet Liar Menginvasi Perkotaan Bandung

Round-Up Sepekan

Kala Monyet Liar Menginvasi Perkotaan Bandung

Tim detikJabar - detikJabar
Minggu, 03 Mar 2024 19:00 WIB
Kawanan monyet di Jl Supratman-Ahmad Yani, Kota Bandung
Kawanan monyet di Jl Supratman-Ahmad Yani, Kota Bandung. (Foto: Rindy Nurjanah/detikJabar)
Bandung -

Pekan ini, publik Kota Bandung digegerkan dengan kawanan monyet liar yang turun ke pemukiman warga. Hewan yang habitat aslinya berada di kawasan hutan itu, tertangkap kamera amatir sejumlah orang yang terlihat melompat dari satu atap ke atap lainnya di perumahan.

Dihimpun detikJabar, kawanan monyet ekor panjang itu mulai terlihat pada Rabu (28/2) pagi sekitar pukul 09.00 WIB turun dari wilayah Dago Atas, Kota Bandung. Kawanan ini kemudian menuju pemukiman warga di wilayah Sekeloa, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.

Setelah diabadikan warga, kemunculan kawanan monyet yang berjumlah 6-8 ekor ini pun mengundang perhatian di media sosial. Beberapa orang juga bertanya-tanya, kenapa kawanan tersebut bisa turun ke pemukiman pendudukan dari habitat aslinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ketua Museum Zoologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Ganjar Cahyadi, ada 3 kemungkinan penyebab hewan primata tersebut turun ke pemukiman warga. Mulai dari faktor insting adanya tanda bahaya dari alam, ketersediaan makanan di habitat aslinya hingga faktor persaingan di antara kawanan.

Penampakan kawanan monyet di permukiman warga Bandung.Penampakan kawanan monyet di permukiman warga Bandung. Foto: Istimewa

Selain itu, kawanan monyet yang turun ke pemukiman penduduk juga berpotensi mengancam keberadaan manusia jika mengalami perubahan perilaku. Ganjar pun menyarankan supaya warga tidak mengganggu, menyudutkan, atau memberi makan kepada monyet liar tersebut.

ADVERTISEMENT

"Jika diberi makanan, monyet bisa jadi tidak takut lagi kepada manusia. Bahkan sebaliknya meminta-minta makanan hingga pergeseran perilaku seperti 'mencuri'. Misalnya, ketika ada warga yang membawa tentengan, mereka mengejar karena mengira itu makanan," ujarnya.

Selama tidak mengganggu dan membahayakan seperti mencakar atau menggigit, masyarakat diimbau untuk membiarkan saja hewan tersebut.
"Karena itu, jika diberi ruang seperti diberi makan, diganggu, dan disudutkan, khawatir akan mengubah perilakunya sehingga lebih mengancam manusia," tuturnya.

Namun demikian, ia menyatakan hewan primata ini bisa saja kembali ke habitat aslinya jika mereka tidak menemukan kondisi ideal untuk tinggal di perkotaan. "Karena secara alami mereka tinggalnya di sana, tidak di sini (permukiman warga)," katanya.

Ganjar juga meminta agar dilakukan penelusuran penyebab pasti hijrahnya kawanan monyet liar dari habitatnya ke pemukiman warga. Dia juga telah berdiskusi dengan BBKSDA terkait hal itu. "Jika terjadi situasi yang mengancam, diimbau warga agar melaporkan hal tersebut kepada pihak terkait, salah satunya BBKSDA Jabar untuk dapat ditangani," tutup Ganjar.

Sementara itu, dari pandangan Walhi Jawa Barat, kasus kawanan monyet liar yang turun ke pemukiman warga di Kota Bandung juga mendapat sorotan tajam. Walhi menduga, insiden ini terjadi karena habitat asli monyet tersebut sudah terganggu ulah manusia.

Direktur Walhi Jabar Wahyudin mengatakan, habitat asli monyet berada di hutan. Sementara, hutan yang terdekat dengan Kota Bandung adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang sekaligus menjadi kawasan konservasi di Bandung Raya.

"Secara logika, habitat hewan yang berada di kawasan hutan, ketika dia turun, itu bisa jadi karena bahan makanan mereka terganggu. Atau, kawasan mereka itu juga terganggu. Jadi, perlu dicek kenapa kawanan hewan itu bisa turun ke pemukiman," kata Wahyudin saat berbincang dengan detikJabar.

Walhi ikut mengkritik keberadaan Tahura Djuanda yang kini tidak murni menjadi kawasan konservasi alam. Tahura itu, kata Wahyudin, sekarang justru sudah berubah drastis menjadi kawasan wisata yang berpotensi mengganggu stabilitas ekologi di sana.

"Karena di tahun sebelumnya, kami pernah mengkritik Tahura yang membuka wisata hutan menyala. Ini kan bisa jadi jadi bentuk ketergangguan habitat ketika ada aktivitas wisata yang mengganggu tempat tinggalnya," ungkapnya.

"Kemudian hilir-mudik manusia yang masuk ke kawasan itu juga akan mengganggu habitat yang ada di situ. Bukan hanya monyet, habitat lain yang tidak kita ketahui mungkin saja bergeser karena habitatnya terganggu ini yang terkadang manusia tidak sampai meletakan bahwa habitat punya hak untuk tenang, nyaman, dan tidak terganggu. Apalagi ini kera, semakin tahun semakin menyusut populasinya ketika kawasan itu terus diganggu," ucap pria yang akrab disapa Iwank itu menambahkan.

Setelah kejadian ini, Iwank mendesak pemerintah supaya punya komitmen serius untuk mengembalikan fungsi Tahura Djuanda sebagai kawasan konservasi dan kawasan ruang terbuka hijau. Walhi bahkan turut meminta izin-izin wisata yang telah dikeluarkan, supaya bisa dievaluasi oleh pemerintah.

"Pemerintah harus mau mengevaluasi. Ini harus dianalisis, karena tidak mungkin habitat hewan itu turun ke pemukiman warga ujug-ujug kalau tidak ada intervensi aktivitas di kawasan tersebut," tegasnya.

Rupanya, tak hanya sehari kawanan monyet ini terlihat warga Kota Bandung berkeliaran. Kamis (29/2/2024), hewan primata tersebut kembali terlihat Jl Supratman-Ahmad Yani, berpindah-pindah di atap ruko dan rumah warga.

Pihak Tahura Djuanda kemudian memberikan keterangan soal insiden ini. Pengendali Ekosistem Hutan Tahura Djuanda, Dicky, menyatakan kemungkinan kawanan monyet ekor panjang yang masuk ke pemukiman warga bisa saja berasal dari kawasan Tahura. Tapi saat itu, dia belum bisa memastikan hal tersebut.

Dicky menjelaskan, dari kebiasaannya, monyet ekor panjang hidup secara berkelompok dengan jumlah 20-30 ekor. Biasanya, dalam kelompok itu ada beberapa ekor pejantan yang terusir dari kelompoknya.

"Apabila dia terusir bisa jadi, tapi tidak lebih dari 5 ekor, biasanya 1-2 ekor itu pejantan yang diusir dari kelompoknya atau biasanya dia bikin kelompok sendiri dan mencari area baru itu bisa jadi juga," ujarnya.

Di Tahura sendiri, menurutnya ada sekitar 275 monyet ekor panjang yang teramati. Habitat monyet ekor panjang kata dia juga ada di kawasan Parongpong, Bandung Barat.

Karena itu, dia menyebut kemungkinan monyet dari Tahura turun ke pemukiman warga bisa saja terjadi. Selain itu, ada juga kemungkinan monyet liar tersebut berasal dari peliharaan warga yang terlepas atau sengaja dilepas.

"Kalau empat ekor bisa jadi dari kita, dan mungkin saja ada yang melepaskan atau lepas dari masyarakat yang memelihara, cuma dia tidak laporan. Itu bisa jadi ya ada dugaan," jelas Dicky.

Namun demikian, Dicky memastikan habitat bagi 275 monyet ekor panjang di kawasan Tahura Djuanda terjaga. Selain itu, berbagai makanan bagi kawanan monyet juga tersedia di Tahura.

"Kalau Tahura termasuk kawasan konservasi ya jadi terjaga, untuk pakan di kawasan tercukupi karena kita ada buah-buahan hutan disini," ujarnya.

Dia juga menegaskan, aktivitas hiking di Tahura dan kehadiran masyarakat tidak mengganggu sama sekali habitat seluruh hewan di Tahura, termasuk kawanan monyet ekor panjang.

Meski begitu, dia menyebut ada saja masyarakat yang mengganggu kebiasaan monyet dengan memberi makan. Hal itu menurutnya akan merubah perilaku monyet di alam liar.

"Kalau secara itu tidak mengganggu, untuk aktivitas hiking. Cuma ada yang terganggu kalau ada pengunjung suka memberi makan, itu akan merubah perilaku. Kalau dibiarkan secara alami itu perilaku tidak berubah," ucap Dicky.

"Di Tahura ada beberapa koloni yang dia suka minta makanan dan minuman pengunjung, mungkin dulunya suka diberi jadi sudah kebiasaan. Makanya kita himbau untuk tidak kasih makan monyet ekor panjang," pungkasnya.




(ral/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads