Dosen Fakultas Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Bandung (Unisba) Muhammad E Fuady menilai pengangkatan Prabunindya Revta Revolusi atau Prabu Revolusi diangkat sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) jangan sampai menjadi amunisi pemerintah untuk melawan kritik publik.
Fuady mengatakan fenomena pengangkatan relawan atau timses menjadi komisaris sebetulnya hal yang sudah lama dilakukan. "Sebenarnya kita tidak perlu kaget karena itu sering dilakukan dan dalam perspektif kekuasaan itu lumrah ya," kata Fuady dihubungi detikJabar via sambungan telepon, Rabu (28/2/2024).
"Hanya kalau memang dalam perspektif publik boleh jadi tidak seperti itu, kalau publik kan menginginkan pengangkatan komisaris atau pemberian jabatan melihat dari faktor profesionalisme orang tersebut, termasuk juga berkaitan dengan aspek managerial di bidang usaha orang tersebut apakah cakap atau tidak? Kalau misalkan tidak, publik akan mempertanyakan hal tersebut dan menganggap hal tersebut sebagai bagi-bagi kue kekuasaan," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait Prabu Revolusi yang sebelumnya merupakan eks Deputi Komunikasi 360 Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, namun, berpindah mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Fuady juga menyebut itu hal biasa di politik.
"Dalam politik tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada cuman kepentingan. Dalam politik itu lumrah menyerang dan sejauh mana orang tersebut bisa lihat peluang yang lebih menguntungkan dirinya baik secara personal ataupun karier. Hanya dalam perspektif lain oleh publik, kalau ada hal seperti itu publik bakal mengkritisi, bisa katakan kutu loncat atau bilang tidak loyal," ungkapnya.
"Jangan sampai juga jadi komisaris jadi amunisi pemerintah menembak para aktivis yang mengkritisi pemerintahan. Pernah juga terjadi, saya tak sebutkan siapa, ada relawan diangkat menjadi komisaris lalu dia banyak ngetwit menyerang kritik publik terhadap pemerintah, seharusnya fokus pada aktivitas sebagai komisaris ini terlalu banyak berkomentar dengan urusan yang mungkin bukan bidangnya, sehingga publik banyak kritis komisaris tersebut dan ini berkaitan dengan lembaga atau BUMN tersebut," jelasnya.
Disingung apakah posisi Prabu Revolusi di KPI sudah tepat? Faudy menyebut hal tersebut tinggal kembali melihat aturan yang ada di Undang-undang.
"Merujuk pada Undang-Undang No 19 Tahun 2023 ada di Pasal 28 berkaitan dengan pengetahuan di bidang usaha, dilihat disitu ada keterkaitan gak? Kalau tidak ada keterkaitan memang akan nampak sebagai sebuah bagi-bagi jabatan atau politik hutang budi, tapi itu memang harus ditelusuri. Tapi kalau di bidang media dia banyak meng-handle desk ekonomi, mungkin gak masalah," tuturnya.
Meski demikian, Fuady menyebut kebijakan itu kembali pada Menteri BUMN Erick Thorir sebagai pemangku kebijakan. Fuady berharap, kepada presiden terpilih periode berikutnya tak melakukan hal sama.
"Sebaiknya kita sudah tinggalkan pola politik hutang budi, balas jasa atau angkat seseorang karena jasa politiknya. Harus ada koridor atau tahapan aspek kepatutan atau kelayakan," tuturnya.
"Publik ingin yang ideal, jangan sampai ada kesan bagi-bagi jabatan, kalau pun terjadi dalam tingkat minimal ya. Publik ingin kehidupan politik tidak abaikan aspek moral yang berpijak pada politik adiluhung tidak jadi sebuah hal bagi-bagi jabatan tersebut," pungkasnya.