Menguak Tantangan dan Solusi Atasi Krisis Iklim di Pulau Jawa

Menguak Tantangan dan Solusi Atasi Krisis Iklim di Pulau Jawa

Demas Reyhan Adritama - detikJabar
Selasa, 27 Feb 2024 23:15 WIB
Banjir di Dayeuhkolot Bandung
Banjir di Dayeuhkolot Bandung (Foto: Yuga Hassani/detikJabar)
Bandung -

Krisis iklim di Pulau Jawa masih masif terjadi sepanjang 2023. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 5.365 bencana tersebar di seluruh Indonesia pada 2023. Rinciannya, 2.051 kebakaran hutan dan lahan, 1.261 kejadian cuaca ekstrem, 1.255 banjir, 591 longsor, 174 kekeringan, dan 33 abrasi dan gelombang pasang.

Akibat bencana tersebut sebanyak 8 juta lebih penduduk mengungsi, lebih dari 250 orang meninggal dunia, dan 5 ribu warga luka-luka. Catatan ini belum termasuk jumlah harta benda yang hilang dan kerugian material lainnya.

Dari hasil analisis, bencana tersebut dampak dari krisis iklim yang didorong oleh faktor multidimensi seperti faktor politis dalam hal ini kebijakan, lalu faktor ekonomis yakni praktik eksploitasi sumber-sumber alam, dan faktor sosial seperti dalih investasi serta pembangunan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan meminta dan merekomendasikan pemerintah lebih serius dalam menyikapi persoalan ini dengan membuat langkah dan kebijakan solutif seperti mengatasi permasalahan air.

Sekadar diketahui, secara turun temurun masyarakat Indonesia lebih banyak memanfaatkan air sungai dibanding teknologi memilah air garam dan air payau. "Mengapa kita nggak seperti Arab Saudi dan Singapura yang mengubah air limbah jadi air minum?," katanya saat jumpa pers di Bandung, Selasa (27/2/2024.

ADVERTISEMENT

Wahyu Eka mengatakan terdapat tiga penyebab Indonesia belum bisa memanfaatkan air limbah menjadi lebih bermanfaat. Pertama adalah kepedulian Indonesia terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) masih minim. Itu bisa dilihat dari jumlah peneliti Indonesia yang lari ke luar negeri. "Penemu-penemu kita itu jarang dihargai di sini," ujar Wahyu Eka.

Kedua mereka melihat air itu hanya sekadar bisnis semata. Ketiga, mengabaikan penggunaan teknologi tepat guna tak diterapkan dengan tepat. "Yang paling penting di sini adalah penyelamatan mata air," katanya.

Wahyu Eka menilai tentunya mengatasi hal ini menjadi tugas bersama meski peran penting ada di pemerintah. Dia menganggap kebijakan saja tidak cukup, dibutuhkan political will atau kehendak politik untuk menghargai dan mendorong kampus-kampus dan juga peneliti-peneliti menjadi lebih berani berinovasi dan penghargaan untuk peneliti.

(iqk/iqk)


Hide Ads