Kawasan Rancaekek di Kabupaten Bandung porak poranda usai diterjang pusaran angin berkecepatan tinggi pada Rabu (23/2/2024) sore kemarin. Kejadian tersebut mengakibatkan ratusan bangunan rusak akibat kencangnya kecepatan angin.
Usai kejadian tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyinggung adanya alih fungsi lahan di kawasan Rancaekek. Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan menuturkan, Rancaekek merupakan kawasan yang terletak nyaris di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat.
Menurutnya, kawasan ini semula merupakan kawasan hijau, yang ditandai dengan banyaknya pepohonan dengan kondisi lingkungannya yang masih relatif bersih. Namun sekarang, kawasan itu beralih fungsi, dari yang semula hijau, berubah menjadi kawasan industri. Eddy mengungkapkan, kawasan seperti itu rawan diterjang pusaran angin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati, kini berubah menjadi hutan beton," ucap Eddy, dalam keterangannya, Jumat (23/2/2024).
Eddy menuturkan, keberadaan industri dapat menghasilkan banyak gas emisi yang kemudian tidak leluasa kembali ke atmosfer akibat efek rumah kaca. Dengan Lama Penyinaran Matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, maka kawasan ini sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.
Perbedaan suhu yang besar antara siang dan malam hari itu, membuat kawasan Rancaekek tanpa disadari berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini dimulai sejak 19 Februari 2024 dan di saat itulah, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek.
Dia menyebut, proses itu terjadi agak lama, sekitar 24-48 jam yang diawali dengan pembentukan bayi awan Cumulus (dikenal sebagai Pre-MCS). Kemudian lambat laut membesar membentuk kumpulan awan Cumulonimbus (Cb) yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
"Walaupun mekanisme agak komplek untuk dijelaskan secara rinci, namun dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudera Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang memang telah mengalami degradasi panas yang cukup tajam," jelasnya.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan, hampir semua kejadian ekstrim seperti puting beliung yang terjadi di Rancaekek, hingga kini relatif sulit diprediksi kehadirannya. Selain terbatasnya data yang beresolusi tinggi, mekanisme pembentukannya belum dipahami dengan baik dan sempurna.
"Adalah wajar jika kadangkala masing-masing kita memiliki pandangan berbeda," ungkap Eddy.
Dia juga berpesan, masyarakat untuk sadar terhadap kondisi lingkungan. Masyarakat diminta untuk tidak menambah kerusakan lingkungan dengan memperbanyak menanam pepohonan, back to nature agar laju global warming bisa diredam.
"Puting Beliung tidak bisa kita cegah (kita redam), namun tanda-tanda kehadirannya bisa kita lihat, mulai dari langit mulai gelap, kecepatan angin permukaan meningkat, suhu udara panas terik di siang hari, namun tiba-tiba mendingin di malam hari, dan lainnya," pungkasnya.
(bba/mso)