Analisis Pakar soal Foto Nyeleneh Antar Komeng Jadi Senator

Round Up

Analisis Pakar soal Foto Nyeleneh Antar Komeng Jadi Senator

Tim detikJabar - detikJabar
Jumat, 16 Feb 2024 08:00 WIB
Komeng di Surat Suara Caleg DPD RI
Surat Suara yang menunjukkan foto Komeng (Foto: X)
Bandung -

Hitung sementara real count KPU RI untuk DPD RI dari Jawa Barat masih diungguli oleh Alfiansyah alias Komeng. Komedian tersebut menyedot perhatian akibat pose foto yang nyeleneh di surat suara.

Per Kamis, (15/2/2024) sekitar Pukul 12.00 WIB, Komeng meraup 8,51% atau 219.068 suara. Komeng jauh meninggalkan calon lain dari Jawa Barat.

Nama Komeng jadi perbincangan karena fotonya pada kertas suara yang dianggap nyeleneh. Jika calon DPD lain menggunakan foto berpenampilan formal dengan balutan jas dan dasi, Komeng justru tampil dengan ekspresi wajah yang kocak, dengan memiringkan kepala dan mata melotot.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Potret ini mendapat komentar dari para Pakar. Salah satunya Pakar Politik Unpad Firman Manan, yang mengatakan nasib Komeng terlihat mujur dan berpotensi menang dalam kontestasi DPD RI 2024. Nasibnya mirip seperti komedian asal Jabar, Oni SOS, pada kontes politik DPD RI lima tahun yang lalu.

"Kita ingat pengalaman 2019 Oni bisa dapatkan berapa juta suara dan kelihatannya ini akan terulang lagi 2024 oleh Komeng," kata Firman dihubungi detikJabar via sambungan sambungan telepon, Kamis (15/2/2024).

ADVERTISEMENT

"Kemungkinan seperti itu (mujur), apakah perolehan suaranya bisa seperti itu kita masih lihat," tambahnya.

Soal foto nyeleneh di surat suara, Firman menyebut, tidak ada aturan di KPU mengharuskan foto formal untuk DPD RI. Malahan, Firman menyebut Komeng lebih unggul daripada calon lain berkat foto jenakanya.

"Menurut saya kecerdasan strategi saja dari Komeng dan timnya, supaya kemudian mudah dikenali publik," ucapnya.

"Apakah faktor foto berpengaruh? Saya katakan iya. Memang bagian dari strategi supaya terlihat oleh siapapun yang mencoblos ketika membuka surat suara itu beda sendiri dan kedua dia memang sudah identik," tambah Firman.

Pendapat Firman selaras dengan Handoko Gani, Pakar Body Language yang ikut berkomentar. Sebagai pakar Body Language, ia mampu menafsirkan kode public image yang tergambar pada pose dan wajah seseorang.

Menurutnya, Komeng mampu menggaet banyak suara dengan menggunakan foto tersebut. Komeng diyakini sengaja memasang foto tersebut, agar lebih mudah dipilih dan dikenali masyarakat dengan ciri khasnya.

"Saya yakin dia 100% sengaja memasang foto tersebut, supaya masyarakat connect. Dia sudah mengerti konsep public image. Sebenarnya foto (nyeleneh) ini untuk membuat diri kita tuh relevan dengan masyarakat, dengan artian sudah dikenali," kata Handoko saat dihubungi detikJabar, Kamis (15/2/2024).

"Bayangkan Komeng berpose serius atau siapapun publik figur seperti Cak Lontong misalnya, berpose serius. Pasti nggak akan ada yang milih. Itu lah public image, image yang dibentuk oleh kita supaya dikenal dengan kesan tertentu. Nah Komeng ingin menggunakan public image dia yang biasanya dan dikenali masyarakat. Ini tidak salah menggunakan imagenya dia," lanjutnya.

Seperti diketahui, Komeng populer dengan acara komedi televisi berjudul 'Spontan' (1996-2003) dengan jargon 'Uhuy!'. Dari sinilah, suara sengau, celotehan, hingga tingkah kocak dengan ekspresi wajah yang menghibur membuatnya semakin tersohor.

Handoko menilai, tak semua publik figur mampu memiliki ciri khas seperti Komeng, yang tak hanya lucu tapi juga punya ciri khas spesifik pada wajah. Hal ini lah yang membuat Komeng mampu 'menang' dengan menampilkan karakter yang sudah dikenal publik, hanya dari sebuah foto.

"Misalnya saja Uya Kuya, saya nggak yakin orang banyak kenal dengan foto yang formal. Kecuali dia berpose seperti sedang hipnotis misalnya, baru menarik. Kemudian Mandra, dia identik dengan wajah yang ketus. Misalnya dia menunjukan foto lucu tapi bukan trademarknya dia atau malah melongo, itu masyarakat nggak akan connect juga," ucapnya.

Namun menurut Handoko, fenomena trademark publik figure yang unik dan mampu meraih banyak suara, juga mencerminkan suatu kelemahan. Menurutnya, ada yang salah sehingga masyarakat masih harus mengenali wakilnya malah dari hal-hal sepele seperti keunikan tertentu.

"Ya ini kelemahan proses demokrasi kita. Kalo kita nggak relate, nggak akan nyoblos orang itu. Untungnya bagi public image yang mereka punya pose dan itu jadi trademarknya dia. Dari sisi pemilih, publik yang mohon maaf, kita nggak tau siapa sih orang yang jadi wakil kita? Sistem ini tidak cukup memberi dasar info kuat," ujar Handoko.

Maka inilah fenomena proses pencoblosan di Indonesia. Kata Handoko, masyarakat yang merasa terkoneksi dengan sosok yang ia pilih, maka akan merasa nyaman dan aman meskipun tidak mengenal siapa dia. Hanya menduga dan meyakini bahwa sosok itulah yang dirasa layak menjadi wakilnya.




(aau/dir)


Hide Ads