Taman Regol sudah lama menjadi salah satu fasilitas umum yang dibangun Pemkot Bandung. Diresmikan pada 7 Februari 2018 setelah menelan biaya pembangunan senilai Rp 25 miliar, taman tersebut juga difungsikan sebagai bagian revitalisasi di bantaran Sungai Cikapundung.
Tapi kini, masalah kepemilikan lahan mencuat atas keberadaan Taman Regol yang terletak di Kelurahan Pasirluyu, Kota Bandung itu. Warga bernama Dede Warsa dan Enang Darsa, dinyatakan oleh pengadilan sebagai pemilik sah lahan yang di atasnya sudah berdiri Taman Regol.
"Mengadili, dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat I (Wali Kota Bandung) dan turut tergugat. Menyatakan gugatan penggugat (Dede Warsa) dikabulkan sebagian. Menyatakan Para penggugat adalah ahli waris yang sah dari almarhum Madja Bin Irmadi," demikian bunyi putusan Hakim PN Bandung yang dijatuhkan pada Kamis, 23 September 2021. Putusan ini juga turut dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 1 November 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kronologinya bermula saat Dede Warsa dan saudaranya itu mendaftarkan gugatan ke PN Bandung atas kepemilikan lahan Taman Regol pada 16 Februari 2021. Bermodal sertifikat hak milik warisan almarhum ayahnya yang bernomor 36/Lingkungan Batununggal seluas 3.725 meter yang terletak di Wilayah Swatantera I Djawa Barat Kotapradja/Swatantera II Bandung Wilajah Karees Lingkungan Batununggal, keduanya saat itu menuntut supaya lahan tersebut segera dikosongkan.
Dalam salinan putusan yang diunduh detikJabar di laman Mahkamah Agung, Sabtu (20/1/2024), gugatan pada 2021 itu akhirnya bergulir di persidangan. Dede Warsa dan Enang Darsa meminta haknya dikembalikan karena almarhum ayahnya telah dinyatakan sebagai pemilik sah lahan di sana berdasarkan keputusan Kepala Inspeksi Agraria Djawa Barat pada 1967.
Tadinya, lahan yang kemudian bersengketa di pengadilan ini disebutkan awalnya berupa sawah yang dimiliki dan digarap almarhum ayah Dede Warsa. Tapi setelah adanya pembangunan Bandung Arterial Haghway, atau yang kini disebut Jalan Soekarno Hatta pada 1972, area persawahan itu kemudian beralih fungsi menjadi tanah darat yang banyak dibangun pemukiman dan bangunan lainnya.
Setahun setelah pembangunan Jalan Soekarno Hatta digarap, ayah Dede Warsa meninggal dunia. Tanah yang dimiliki mendiang ayah pun lantas terlupakan karena Dede Warsa maupun saudaranya, Enang Darsa, disibukan dengan kehidupannya masing-masing. Dede berstatus sebagai wiraswasta, sementara Enang menjadi PNS di lapas yang kerap ditugaskan di luar wilayah Bandung.
Setelah Enang pensiun sebagai PNS pada 2017, dua bersaudara itu mulai mencari keberadaan tanah milik mendiang ayah mereka. Usaha yang mereka lakukan akhirnya membuahkan hasil pada Juni 2018, dan baru menyadari lahan tersebut telah menjadi aset Pemkot Bandung berupa Taman Regol.
Dalam gugatannya, disebutkan bahwa karena adanya pemekaran di Kota Bandung, lokasi tanah mendiang sang ayah yang tadinya berada di wilayah Karees, kini menjadi Kelurahan Pasirluyu, Kecamatan Regol. Tapi, perubahan administrasi wilayah tersebut tak merubah status dalam kepemilikan tanah dari mendiang ayah Dede Warsa dan Enang Darsa.
Sebelum dibangun menjadi Taman Regol, kedua bersaudara itu juga mendapatkan informasi tanah mendiang ayahnya pernah dibangun Balai Pembibitan Tanaman. Padahal, keduanya menegaskan tanah warisan itu tidak pernah dijual, disewakan, bahkan dialihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun.
Karena merasa dirugikan, kedua bersaudara ini sempat mengadu ke Komisi C DPRD Kota Bandung pada 19 November 2020. Keduanya, saat itu menuntut ganti rugi kepada Pemkot Bandung dengan harga jual pasaran tanah yang disesuaikan dengan tahun tersebut.
Tapi, musyawarah yang dilakukan pada saat itu mengalami kebuntuan. Pemkot melalui Bagian Hukum dan DPKP3 (saat ini menjadi Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Bandung) mengklaim tanah milik Dede dan Enang telah berubah sertifikat yang akhirnya masuk dalam daftar inventaris aset milik Kota Bandung.
Tanah yang diklaim Pemkot sebagai aset daerah itu merujuk pada pelepasan hak pemilik tanah yang tercantum dalam 3 sertifikat berbeda. Ketiga sertifikat itu sebelumnya dinyatakan milik warga berinisial SS, K dan U yang masing-masing seluas 120 meter persegi, 40 meter persegi dan 32 meter persegi.
Karena penasaran, Dede dan Enang lalu mengecek kebenaran 3 sertifikat yang diklaim Pemkot Bandung ke Kantor Pertahanan. Ternyata, kedua bersaudara ini menemukan fakta bahwa klaim Pemkot salah alamat alias tanah yang masuk aset pemda berada jauh dari lokasi Taman Regol.
Keduanya pun lantas membawa gugatan sengketa lahan itu ke pengadilan. Singkatnya, PN Bandung memutuskan memenangkan gugatan Dede dan Enang, dan membuat Pemkot Bandung kalah dalam gugatan tersebut.
Dalam amar putusannya, PN Bandung juga memerintahkan Pemkot untuk mengosongkan objek gugatan itu. Pengadilan juga memerintah Pemkot untuk mengeluarkan tanah tersebut dari daftar aset daerah.
"...bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan alat keamanan negara...," demikian kutipan bunyi putusan PN Bandung.
"Atau menghukum tergugat I (Pemkot Bandung) untuk membayar harga tanah objek sengketa milik almarhum Madja Bin Irmadi a quo yang telah dikuasai dan dimanfaatkan tergugat I dalam bentuk pemberian uang ganti kerugian kepada Para Penggugat selaku ahli waris yang sah dari almarhum Madja Bin Irmadi selaku pemilik atas tanah waris a quo dengan besar pembayaran uang ganti kerugian dihitung berdasarkan nilai jual harga pasaran tanah yang berlaku pada waktu nanti dilakukannya pemberian ganti rugi atas tanah tersebut."
Setelah kalah gugatan, Pemkot kemudian mengajukan banding ke PT Bandung. Dalam pertimbangannya, Pemkot balik menyebut Dede dan Enang telah salah menentukan objek tanah yang mereka klaim berada di Taman Regol.
Selain itu, Pemkot juga menyebut Dede dan Enang sebagai ahli waris dianggap telah melepas hak kepemilikan tanah itu karena lebih dari 30 tahun tidak mengurus objek tanah sengketa tersebut. Kemudian, Pemkot juga menyebut gugatan yang mereka layangkan telah kedaluarsa karena bukti yang mereka bawa telah melewati rentang waktu yang ditentukan di pengadilan.
Selanjutnya, Pemkot juga beralasan objek sengketa yang tidak dipergunakan Dede dan Enang selama rentang waktu 48 tahun telah dimanfaatkan untuk fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Fasos-fasum itu kemudian dicatat Pemkot sebagai aset milik daerah.
Setelah menerima banding dari Pemkot, Majelis Hakim PT Bandung memutuskan untuk menolak banding tersebut. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan meski tanah tersebut tidak dikuasai secara fisik selama lebih dari 30 tahun, namun Dede dan Enang tetap dinyatakan sebagai pemilik sah atas lahan yang kini di atasnya dibangun Taman Regol.
"...maka pendapat pembanding semula tergugat I (Wali Kota Bandung) yang menyatakan bahwa dengan ditelantarkannya obyek sengketa selama 30 tahun, dianggap para terbanding semula para penggugat telah melepaskan haknya atas obyek sengketa haruslah dikesampingkan."
"Menimbang, bahwa materi memori banding selebihnya tidak ada hal-hal atau argument yang baru, dan semuanya telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama," kata Hakim PT Bandung yang diketuai Hidayatul Manan dalam putusannya itu.
Kalah lagi di tingkat banding, Pemkot kemudian mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tertanggal 10 Maret 2022. Tapi, MA dalam putusannya pada 28 Juni 2022, tidak mengabulkan upaya kasasi tersebut yang membuat Pemkot Bandung tetap kalah dalam gugatannya.
"Mengadili, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi WALIKOTA BANDUNG tersebut," demikian bunyi putusan kasasi yang diketahui Hakim Agung Zahrul Rabain itu.
Meskipun kembali dinyatakan kalah, Pemkot Bandung masih mengajukan upaya hukum atas sengketa lahan di Taman Regol. Kini, Pemkot sudah melayangkan peninjauan kembali (PK) ke MA supaya putusan sebelumnya bisa dianulir oleh pengadilan.
(ral/iqk)