Hatinya terkejut bukan main saat mendengar kabar cucu kesayangannya hanyut terbawa arus hujan, di gorong-gorong permukiman warga Baladewa, Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung.
Namun saat itu, Syarif tak mau larut dalam kesedihan. Ia ingin segera menemukan tubuh Muhammad Diaz Abqari Runako (7), atau biasa dipanggil Diaz.
"Saat tahu kejadian itu, saya ditelepon anak hari itu juga (Minggu, 31 Desember 2023). Saya kaget tapi langsung malam itu ikut nyari. Sampai ke sekitar Astana Anyar, tapi air masih deras dan besar jadi akhirnya ditunda dulu (pencarian, kemudian dilanjut keesokan hari)," ceritanya pada detikJabar, Jumat (5/1/2024).
"Saya dengan Diaz itu, bukan dekat lagi. Dia itu kesayangan saya. Dia cucu bungsu tapi cucu pertama laki-laki dari enam cucu saya, lainnya perempuan semua," lanjutnya mengenang sang cucu.
Tak pernah terpikir di benaknya, Diaz akan pergi secepat itu. Sehari, dua hari, hingga tiga hari pencarian, ia dibuat gelisah sebab tubuh cucunya tak kunjung ditemukan.
Syarif lah yang membongkar jalan sepetak yang di bawahnya terdapat aliran gorong-gorong. Ia khawatir, pencarian akan sia-sia sebab sebetulnya tubuh Diaz terperangkap di gorong-gorong.
"Iya, saya yang bongkar parit itu karena penasaran. Ada rasa tidak rasional karena salurannya kan letter L, kalau sampai masuk orang kurang rasional. Saya pikir mungkin belum ditemukan karena di situ. Tapi ternyata debit air terlalu keras jadi bisa hanyut sampai jauh," katanya.
"Kemudian saya dapet informasi dari Pak Lurah sekitar jam 1 (dini hari, Jumat 5 Januari 2024) ditemukan ada jasad. Orang tuanya mengenali ciri-cirinya, memang itu Diaz," lanjut Syarif.
Tak disangka tubuh cucu bungsunya itu hanyut terseret arus air sungai, hingga sejauh kurang lebih 16 kilometer. Jasad Diaz ditemukan pada Jumat (5/1/2024) dini hari, di Sektor 9 aliran Sungai Citarum, Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
Larutnya Kenangan Syarif dengan Sang Cucu Kesayangan
Sesekali Syarif heran mengapa kejadian itu bisa menimpa cucunya. Ia dan sang istri, Masitoh (58), dibuat bertanya-tanya mengapa Diaz hari itu keukeuh ingin bermain hujan-hujanan. Padahal, itu bukan kebiasaan Diaz sehari-hari.
"Kebetulan saya tinggal di Braga, jadi saya hanya diceritain anak saya dan tetangga. Jadi waktu itu hujan turun, dia main-main di situ (gorong-gorong). Sebetulnya dia nggak pernah mau hujan-hujanan, tapi tiga hari itu hujan deras dan dia yang ngotot ngajak temennya untuk hujan-hujanan," cerita Syarif.
"Diaz itu suka sekali bakso, kalau beli bakso harus enam butir. Apapun yang dia mau pasti dikasih. Hari itu sudah dibelikan bakso, tapi dia maunya hujan-hujanan. Nangis terus, maunya hujan-hujanan," kata Masitoh menimpali.
Tapi, takdir mengarahkan Diaz hari itu untuk bertemu Sang Pencipta. Ia berusaha ikhlas dan terus mendampingi putra dan menantunya, yang hingga kini masih butuh dukungan karena masih syok akan kepergian putranya.
"Saya kalau di organisasi itu orangnya agak keras. Tapi saya paling sayang sama dia. Saya disadarkan teman saya, Allah lebih sayang sama dia. Yang punya hak menciptakan dan memiliki segalanya, jadi ya saya ikhlas," ucap Syarif.
"Saat ini kondisinya (orang tua) memang sudah tidak terlalu kritis tapi masih syok lah, jadi kita kasih space dulu untuk istirahat. Nanti malam tahlilan lagi, ya untuk mendoakan dan menenangkan (kedua orang tua)," lanjutnya.
Di mata sang kakek, Diaz memiliki bakat yang menonjol pada menggambar dan mewarnai. Selain itu, Diaz juga dikenal rajin mengaji.
![]() |
Pada libur Hari Raya Natal, Syarif membawa cucu yang ia banggakan itu, makan bersama di salah satu rumah makan di Kabupaten Bandung Barat. Siapa sangka, itu jadi hari terakhir waktunya bersama sang cucu.
"Tanggal 25 Desember saya bawa dia makan-makan ke Rumah Makan Darmaga Sunda Lembang. Ternyata itu terakhir kali. Agenda tanggal 2 Januari sebetulnya mau saya bawa jalan-jalan ke Pangandaran tiga hari. Sudah saya pesankan hotel di sana. Sudah diwanti-wanti orang tuanya, harus jaga kesehatan karena nanti tiga hari mau jalan-jalan ke Pangandaran. Belum jadi berangkat, Diaz sudah nggak ada," cerita Syarif.
Kini, Syarif berusaha menenangkan kedua orang tua Diaz yang masih terpukul. Ia pun melihat musibah ini sebagai intropeksi diri bagi keluarganya.
"Ya untuk keluarga, ini ujian tapi juga jadi cambukan. Supaya ke depan dengan anak-anak itu jangan pembiaran. Kalau melarang itu ya anaknya diambil, jangan hanya diteriaki dan dibiarkan," ucapnya singkat. (aau/yum)