Fenomena tanah bergerak rusak lima rumah warga di Kampung Tegalkaso, Desa Bencoy, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi. Untuk meneliti penyebab dan penanganannya, tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Jawa Barat, terjun ke lapangan.
Surveyor Pemetaan Tim Penyelidik Pergerakan Tanah PVMBG Dr. Sumaryono mengatakan, kajian lapangan itu dilakukan untuk melihat pola retakan dan meneliti potensi bencana pergerakan tanah di wilayah Cireunghas. Menurutnya, hasil kajian itu nantinya akan menjadi rekomendasi bagi Pemerintah Daerah untuk meminimalisir dampak bencana.
"Kalau melihat memang pemukimannya itu sampingnya gawir, kemudian ada aliran saluran drainase, di bawahnya ada sawah dan lain-lain. Nanti kami susun untuk diberikan rekomendasi ke pemerintah daerah langkah selanjutnya apa yang harus dilakukan terkait kejadian longsor di lokasi ini," kata Sumaryono kepada detikJabar di Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, Selasa (12/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penelitian itu, pihaknya menggunakan alat distometer dan GPS untuk mengetahui pola pergerakan tanah. Kemudian, mereka juga menggunakan metode fotogrametri untuk melihat area dimensi. Sejauh ini, lebar mahkota yang diteliti seluas 150 meter.
Berdasarkan pengamatan sementara, Sumaryono menuturkan, potensi pergerakan tanah di Cireunghas masih ada. Pasalnya, cuaca ekstrem musim hujan baru akan memasuki puncaknya pada Januari-Februari.
"Kalau potensi berkembangnya masih ada artinya potensi longsoran susulan itu masih ada. kalau melihat saluran drainasenya atau irigasinya tadi masih ke arah situ ya potensinya masih besar untuk terjadi longsor," ujarnya.
"Ke depannya perlu dilihat lagi yang di gawir itu muncul retakan-retakan baru atau nggak karena biasanya kalau ada longsoran itu ada tarikan. Kalau tarikan pertama kali mungkin di dekat fondasi atau di dekat lantai itu perlu dicek karena itu bagian titik yang mudah pecah," sambungnya.
Dia menjelaskan, Cireunghas sudah masuk dalam Zona Kerentanan Gerakan Tanah (ZKGT) tipe menengah sampai tinggi. Pola pergerakan tanahnya berulang dan lambat.
"Ini sudah terlalu rusak sangat retakan, jadi antisipasinya sudah susah kalau lokasi lain atau sekitar sini muncul retakan itu segera ditutup saja retakan itu supaya air nggak (merembes)," katanya.
Meski tingkat kerawanan di daerah tersebut masih menengah, Sumaryono tak menampik adanya potensi rawan tinggi. Di jalur 150 meter yang diteliti, kata dia, seharusnya tak ada pemukiman dan pola tanaman atau perkebunan warga harus diubah, bukan lagi yang membutuhkan banyak air.
"Kami cuma menentukan area terancamnya. Langkah selanjutnya apakah relokasi atau enggak perlu dikaji lagi. Tapi kalau relokasi kemungkinan tidak semuanya, hanya yang dekat-dekat, yang sudah rusak berat kemudian yang dekat gawir," ungkapnya.
Pihaknya memprediksi, kajian akan selesai dalam kurun waktu satu minggu. Beberapa solusi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh warga yaitu memutus aliran drainase, tidak membuat kolam dan mengubah jenis pertanian.
"Solusi jangka panjang, kita melihat perkembangan karena masukan air baru di awal musim hujan, puncaknya masih ada Januari-Februari cuman yang di dekat gawir harus waspada. Ya sebaiknya minggir dulu, hati-hati lah yang dekat gawir itu karena ketika longsor itu bagian atasnya ikut ke tarik," kata dia.
Di lokasi yang sama, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kab Sukabumi Sambas mengatakan, pihaknya akan menunggu hasil kajian PVMBG sebagai langkah antisipasi bencana pergerakan tanah. Ke depan, pihaknya akan menganggarkan pembuatan rambu-rambu bencana dan jalur evakuasi warga.
"Jalur evakuasi juga akan kita siapkan. Rambu-rambu memang harus dipasang, nanti kita akan kerjasama. 2024 akan mengusulkan (anggaran) rambu-rambu rawan bencana dan jalur evakuasi di sini mana saja yang harus dikerjasamakan dengan desa dan kecamatan karena yang tahu lokasi adalah mereka. Kita juga siapkan titik kumpul ketika terjadi bencana," kata Sambas.