Sejarah Alun-Alun Bandung, Tempat Sakral yang Jadi Ruang Publik

Sejarah Alun-Alun Bandung, Tempat Sakral yang Jadi Ruang Publik

Daffa Sarja - detikJabar
Jumat, 08 Des 2023 09:00 WIB
Alun-alun Bandung.
Alun-alun Bandung. (Foto: Daffa Sarja/detikJabar)
Bandung -

Alun-alun Bandung menjadi salah satu ruang publik yang masih sering dikunjungi oleh masyarakat hingga sekarang. Lokasinya yang berada di tengah kota, membuat alun-alun selalu ramai dikunjungi. Akses juga mudah dijangkau dari berbagai lokasi, mulai dari Gedung Konferensi Asia Afrika, Braga, hingga Pasar Baru.

Di balik kepopulerannya, Alun-alun Bandung punya cerita menarik tersendiri. Semula, Alun-alun Bandung ini merupakan tempat sakral hingga akhirnya berubah menjadi ruang publik. Berikut Sejarah Alun-alun Bandung, mulai dari zaman kerajaan, kolonial, hingga sekarang.

Alun-Alun Bandung Saat Masa Kerajaan

Pada masa kerajaan, alun-alun menjadi batas antara wilayah sakral yaitu keraton atau pendopo dan wilayah profan (wilayah kehidupan konkrit). Alun-alun menjadi tempat dimana kekuasaan raja menjadi terpancar ke seluruh negeri atau kabupaten, sehingga alun-alun dijadikan sebagai tempat untuk menghadap kepada raja dan menyampaikan pesan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, alun-alun dipusatkan sebagai tempat kegiatan ritual kegiatan keagamaan penting dan keberadaan masjid di bagian barat alun-alun menjadi simbol kekuasaan raja atau budaya di bidang keagamaan.

Pada saat Alun-Alun Bandung dibangun, saat itu tata ruang Kota Bandung menyesuaikan dengan pendopo sebagai mikrokosmos yang berada di selatan alun-alun dan Gunung Tangkuban Perahu sebagai makrokosmos atau Mahamerunya masyarakat Bandung di sisi Utara. Kemudian pada bagian sisi Barat alun-alun, terdapat Masjid Agung.

ADVERTISEMENT

Alun-alun Bandung berbeda dengan alun-alun yang berada di Kota Yogyakarta dan Surakarta. Di kedua kota tersebut, terdapat dua alun-alun di sisi Utara dan Selatan yang mengapit keraton. Hal ini menunjukkan, keberadaan alun-alun pada masa Majapahit.

Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat politik dari dua kerajaan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Sementara di Kota Bandung merupakan pusat politik Kabupaten Bandung, sehingga tidak ada kesejajaran dengan kerajaan atau kesultanan.

Alun-Alun Bandung pada Masa Kolonial

Pada masa kolonial, Bandung hanyalah sebuah kabupaten biasa. Walau pada saat itu, para bupati Bandung memiliki hubungan kekerabatan dengan raja-raja di Sunda. Kemudian saat dibangun pada Mei-September 1810, Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1930-an, bangunan babancong atau bangunan tempat untuk bupati berpidato saat acara-acara resmi atau untuk orang kepercayaannya menyampaikan pengumuman kepada rakyat, kini telah hilang. Saat ini, bangunan tersebut hanya ada di Alun-alun Kota Garut dan Manonjaya.

Hingga tahun 1940-an, masih terdapat dua pohon beringin besar di tengah-tengah Alun-alun Bandung dan enam buah pohon beringin lainnya. Kedua pohon tersebut diberi nama Wilhelmina Boom dan Juliana Boom, dimana sebelumnya dipercaya masyarakat sebagai lambang kewibawaan bupati dengan kekuasaannya mengayomi rakyatnya.

Alun-Alun Bandung Setelah Masa Kolonial

Alun-alun Bandung telah mengalami revitalisasi pada tahun 1950-an oleh Pemerintah Kota Bandung dan menjadi taman kota yang terbuka. Beberapa bangunan peninggalan masa lalu juga telah dijadikan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Bandung.

Kemudian Alun-alun Bandung sempat ditambah dengan jembatan yang menghubungkan antara Alun-alun Bandung dengan Masjid Agung yang bertujuan agar warga yang berkunjung tidak mengalami kesulitan saat akan melaksanakan ibadah.

Saat inilah yang membuat fungsi dan makna kesakralan alun-alun Bandung mulai memudar, dengan terbukanya alun-alun tersebut dalam menerima rakyat untuk aktifitas umum.




(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads