Membesarkan buah hati yang terlahir dengan kondisi berbeda membutuhkan kesabaran ekstra. Hal itu dirasakan Dede Evi (28), warga Jalan Cagak RT 05 RW 12, Kelurahan Sambongjaya, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.
Evi adalah ibu dari Safira Febriana (5), anak perempuan yang mengidap Harlequin Ichthyosis, penyakit bawaan lahir atau kelainan genetik yang terjadi pada kulit. Penyakit ini secara sederhana dimaknai sebagai kondisi tak memiliki kulit bagian luar, sehingga kulit menjadi mengeras dan sangat sensitif.
"Jadi kalau kata dokter, anak saya ini tak punya kulit luar. Jadi kulit dia sangat sensitif, katanya 10 kali lebih sensitif dari kulit anak normal," kata Evi, Jumat (24/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini membuat Safira mengalami keluhan kesehatan yang dideritanya sepanjang hidup. Setiap malam ia terganggu oleh rasa gatal. Selain itu, kulitnya mudah terluka dan mengalami abses atau istilah Sunda disebut cenang.
"Jadi sampai sekarang usia 5 tahun, setiap malam tidur tidak pulas, sering terbangun mengeluh gatal. Inginnya digaruk, tapi nggak boleh karena akan melukai kulit, paling sebatas diusap-usap," kata Evi.
Kelainan bawaan lahir ini juga memengaruhi pertumbuhan Fira, di antaranya berpengaruh pada bentuk mata yang tampak tak memiliki kelopak. Kemudian pertumbuhan jari kakinya pun terganggu.
Dia juga tak bisa terlalu lelah saat beraktivitas karena jika terlampau berkeringat atau misalnya terjatuh, akan berdampak pada kondisi kulitnya.
![]() |
Semangat hingga Penolakan untuk Safira
Dengan kondisinya, Safira tetap bersemangat untuk bersekolah. Namun Evi punya cerita memilukan saat hendak menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-kanak.
Setidaknya ada dua sekolah yang menolak hanya karena Safira terlihat berbeda. Penolakan juga datang dari orang tua siswa yang lain. Namun pada akhirnya Safira bisa bersekolah di sebuah TK yang menerimanya dengan baik.
Evi mengaku optimistis Safira bisa tumbuh dan berkembang seperti anak lain pada umumnya. Sehingga dia berusaha memberikan pendidikan terbaik. "Insya Allah jadi anak salehah, saya ingin memberikan yang terbaik, mengusahakannya secara maksimal," tuturnya Evi.
Safira adalah anak sulung dari pasangan Evi dan Rudi (32). Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai perajin sandal di sebuah industri rumahan.
Meski tergolong keluarga sederhana, Evi mengaku setiap bulan berusaha keras menyisihkan penghasilan suaminya untuk biaya berobat Safira. "Sebulan itu habis Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta untuk biaya berobat Safira," ujar Evi.
Obat-obatan yang harus dibeli itu berupa tablet dan salep, jika itu tak terpenuhi, maka Safira akan semakin tersiksa dengan kondisi gatal dan perih yang dirasakan di kulitnya.
Evi mengaku memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), namun fasilitas jaminan kesehatan dari pemerintah itu tak membantu sepenuhnya. Sebab obat-obatan yang diperlukan Safira kerap kali tidak tersedia, sehingga Evi harus membelinya sendiri.
"Kan obat-obatannya khusus, susah didapat, pasti harus beli sendiri. Terus Safira memang sudah biasa berobat ke dokter yang menanganinya sejak kecil. Ya walaupun berat biayanya tetap kami usahakan," kata Evi.
Evi berharap jaminan kesehatan di KIS itu bisa menyediakan obat-obat yang dibutuhkan anaknya, sehingga beban biaya berobatnya bisa berkurang. "Ya maunya begitu, obat-obatannya di-cover KIS, tapi bingung harus bagaimana caranya," kata Evi.