Bale Angklung Bandung, berdiri tahun 2008, memiliki akar dalam karya seni angklung yang diinisiasi oleh Daeng Soetigna, Bapak Angklung Indonesia. Namun, seiring dengan waktu, angklung yang dihasilkan oleh Pak Daeng tidak hanya menjadi representasi tradisional, melainkan sebuah gebrakan dengan menciptakan angklung diatonis kromantik, sebuah nada modern yang berbeda dari nada tradisional.
"Jadi, saya luruskan siapa Pak Daeng sebetulnya. Jadi, Pak Daeng menciptakan angklung diatonis kromatik (nada modern) yang dulu, bukan menciptakan angklung. Tapi, menciptakan angklung dengan nada diatonis kromatik," Terang Reza Handiman, Perajin Angklung di Bale Angklung Bandung.
Pengelolaan Bale Angklung Bandung saat ini dipegang oleh Reza Handiman, seorang putra dari Handiman Diratmasasmita. Handiman Diratmasasmita sendiri adalah murid Daeng Soetigna (Bapak Angklung Indonesia) dan telah memproduksi angklung selama 30 tahun. Bale Angklung Bandung menjadi wadah untuk melanjutkan warisan Pak Daeng. Bale Angklung Handiman Bandung terletak di Jl. Cikutra Barat No.146 Bandung yang juga menyatu dengan warung kopi (warkop) Bale Sagala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Reza Handiman, sebagai keturunan langsung, kemudian dipercayakan untuk melanjutkan tradisi Angklung PaDaeng. Dalam mengemban tanggung jawab ini, Reza Handiman menjaga teguh filosofi Pak Daeng: wiraga, wirama, wirasa sebagai karya seni yang harus dijaga dengan baik.
"Pak Daeng itu bilang wiraga, wirama, wirasa. Itu karya seni. Dari raganya harus betul-betul dong. Angklung itu raganya bagus, iramanya enak, nadanya enak, dirasakan di hati. Pak Daeng menciptakan angklung ini dengan motto: murah, meriah, massal, menarik, menyenangkan. Jadi, pemainnya banyak."
Wiraga mencakup keseragaman fisik angklung, sementara Wirama melibatkan kesesuaian dan keseragaman suara, nada, dan irama angklung. Wirasa mengacu pada pemain angklung yang mampu memainkan angklung dengan rangkaian nada yang selaras.
Meskipun prinsip-prinsip ini sederhana, banyak produsen angklung yang mengabaikannya. Namun, Handiman tetap gigih dan mendirikan Bale Angklung Bandung pada 2008 untuk mendorong perajin angklung membuat produk berkualitas. Daeng Soetigna tidak hanya merupakan alat musik, tetapi juga sebuah karya seni yang melibatkan perpaduan rasa dan pikiran yang dituangkan dalam setiap karyanya.
"Jadi, nada diatonis kromatik itu nada yang modern (do re mi fa sol la si do) yang asalnya nada tradisional (da mi na ti). Nah, sama Pak Daeng diubah. Makannya, angklung yang sekarang ini sebetulnya, inilah angklung Pak Daeng. Jadi, inilah angklung Pak Daeng. Bukan menyebutkan ini angklung si A, bukan. Ini punya Pak Daeng," Kata Reza.
"Bale," sesuai dengan namanya yang merujuk pada tempat berkumpulnya masyarakat, diharapkan oleh Handiman menjadi tempat untuk generasi muda Indonesia belajar dan menjaga angklung. Meskipun mendapat penghargaan dari negara tetangga atas usahanya, Handiman menolak tawaran untuk tinggal di sana karena cintanya pada Indonesia. Namun, kepedulian terhadap melestarikan kawasan perkebunan bambu di selatan Jawa masih minim, menyulitkan Handiman mencari bahan baku berkualitas.
Di tengah minimnya perhatian Indonesia terhadap kekayaan budayanya, Handiman diberi harapan oleh anak muda yang membantu mengumpulkan pengetahuan tentang angklung melalui Relawan Bale Angklung Bandung. Mereka bermimpi memiliki gedung pertunjukan angklung di Bandung dengan sarana edukasi untuk masyarakat.
Tentang Handiman Diratmasasmita
Setelah UNESCO mengakui Angklung sebagai warisan budaya dunia pada 18 November 2010, Handiman Diratmasasmita, tokoh angklung Jawa Barat, mengungkapkan kekhawatiran terhadap kurangnya keseriusan dalam melestarikan angklung di Indonesia. Kekhawatirannya muncul karena banyak produsen angklung yang fokus pada kuantitas daripada kualitas. Handiman, murid langsung dari Daeng Soetigna, memandang pentingnya pendidikan angklung, namun menyayangkan minimnya minat generasi muda Indonesia.
Handiman, yang belajar dari Daeng Soetigna, aktif mengajar dan membuat angklung sejak tahun 1972. Setelah pensiun pada 2001, Handiman sepenuhnya mendedikasikan waktunya untuk membuat angklung. Kualitas angklung buatannya mendapat pengakuan baik di dalam maupun luar negeri, dengan pesanan bahkan sampai ke Amerika Serikat. Handiman menekankan pentingnya memilih bambu berkualitas, memastikan kecocokan antara badan angklung dan resonannya. Bambu Wulung dan Bambu Temen dari daerah dengan karakteristik tertentu menjadi bahan utamanya.
Dalam proses pembuatan, bambu dipilih dengan hati-hati dan dikeringkan selama setahun untuk memastikan kekuatan dan kualitas suara. Handiman menekankan tiga aspek kunci: Wiraga, Wirama, dan Wirasa dalam menciptakan angklung yang berkualitas. Meskipun menghadapi tantangan dalam pelestarian tradisi, Handiman berkomitmen menjaga keaslian dan keunikan angklung sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia.
Bale Angklung Bandung sendiri berdiri pada tahun 2008, tetapi jejaknya dalam dunia angklung jauh lebih tua. Reza memiliki kisah inspiratif tentang bagaimana ia bertemu dengan Daeng Soetigna pada tahun 1967 dan memulai belajar angklung pada tahun 1968. Keterlibatannya dalam dunia angklung tidak hanya sebagai seorang seniman, tetapi juga sebagai seorang pengajar. Saat ini, Reza juga berbagi pengetahuannya tentang angklung di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Cileunyi, menunjukkan komitmen dalam memperluas cakupan seni angklung untuk semua kalangan.
Visi dan misi Handiman Diratmasasmita membawa warna tersendiri dalam perjalanan Bale Angklung Bandung. Visinya adalah menjadi penjaga dan pelestarian nilai-nilai Angklung PaDaeng, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Sementara misinya mencakup menjadi wadah interaktif bagi penggiat dan penikmat angklung, membangun pusat pengetahuan dan pembelajaran Angklung PaDaeng yang inklusif, serta membentuk jejaring produksi Angklung PaDaeng yang menjaga kesetaraan.
Harga Angklung PaDaeng yang dijual di Bale Angklung Bandung bervariasi, mulai dari 500 ribu rupiah hingga belasan juta rupiah untuk orkestra. Selain angklung, bale ini juga menawarkan berbagai alat musik tradisional bambu seperti gambang, karinding, celempung, terompet, suling, dan calung.
Untuk membuat angklung, Reza membagikan daftar peralatan yang diperlukan diantaranya: Bambu gombong, bambu tali, bambu wulung, golok, penggaris bambu, kikir, blogenspil, jangka sorong, pisau raut, tuner, dan gergaji. Semua alat ini digunakan dengan teliti untuk memastikan setiap angklung yang dihasilkan mencerminkan kualitas dan keaslian dari Angklung PaDaeng.
Bale Angklung Bandung membuka pintunya setiap hari mulai pukul 8 pagi hingga 5 sore. Untuk pemesanan atau informasi lebih lanjut, dapat menghubungi sosial media @baleangklunghandiman atau menghubungi nomor 082214173445 yang merupakan kontak langsung dengan Reza Handiman.
Melalui Bale Angklung Bandung, Reza Handiman meneruskan warisan Pak Daeng dan visi-misi Handiman Diratmasasmita, menciptakan harmoni antara tradisi dan inovasi dalam dunia seni angklung. Sebuah melodi indah yang terus berkumandang, menceritakan kisah perjalanan seni yang tak terlupakan.
(tya/tey)