Kabelburg Tjimandiri, demikian Belanda menyebutnya pada masa kolonial dulu. Namun, kini warga Sukabumi menyebutnya dengan nama Jembatan Kuning Bagbagan. Penghubung antara Palabuhanratu dan wilayah Pajampangan.
Jembatan gantung itu membentang sepanjang kurang lebih 117,5 meter dengan tinggi pylon (menara) 17,7 meter, dan lebar 3,9 meter. Jembatan itu adalah saksi bisu ambisi Belanda menghubungkan Palabuhanratu ke kawasan Pajampangan.
"Pada bulan Maret dan April tahun 1923, pembangunan jembatan di atas sungai Tjimandiri yang saat ini dikenal dengan Jembatan Bagbagan ini masih dalam tahap penyelesaian, hal ini menjadi perbincangan hangat di kalangan media pemberitaan Hindia Belanda setelah jembatan yang menghubungkan wilayah Palabuhanratu menuju ke wilayah Pajampangan ini mengalami beberapa kali penundaan di tahun-tahun sebelumnya," kata Rangga Suria Danuningrat, seorang pegiat sejarah dari Sukabumi History dan Jelajah Sejarah Sukabumi, Selasa (17/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rangga menukil sejarah dari sejumlah sumber primer, seperti media atau surat kabar yang terbit di masa penjajahan, seperti De Sumatra Post 24-11-1923, De Preanger-Bode 31-12-1918 dan Bataviaasch Nieuwsblad 28-11-1922. Menurut Rangga, proyek ini menjadi perbincangan hangat, terutama saat tanggal pembukaan yang sangat diharapkan terus ditunda.
"Padahal saat itu sudah ada banyak alasan untuk segera membuka jembatan ini, terutama karena pembangunan jembatan sederhana di atas sungai ini sudah berlangsung selama sembilan tahun dan tak kunjung usai. Akhirnya, pada tanggal 5 Mei tahun 1923, pembukaan jembatan dapat dilangsungkan," ujarnya.
Kala itu perayaan selamatan secara meriah digelar yang dipercaya oleh pejabat dan peduduk lokal sebagai cara untuk mengusir rasa ketakutan, dan keraguan yang pernah ada di kalangan penduduk Sukabumi di belahan selatan. Namun, di sisi lain, Raad van Indie (dewan hindia) banyak melontarkan kritik mengenai berbagai aspek proyek ini. Kritik dikemukakan melalui surat yang ditujukan kepada pemerintah.
"Dalam tanggapannya, pemerintah telah mengirimkan catatan dari Bagian Jembatan dan Jalan Raya kepada departemen Jembatan dan Jalan pada Burgerlijke Openbare Werken atau semacam dinas pekerjaan umum yang disingkat dengan B.O.W di bawah pengawasan J.W.J. Romans van Schaik," cerita Rangga.
"Jembatan di atas sungai Tjimandiri ini merupakan bagian dari proyek penting terkait dengan pembangunan jalan yang menghubungkan daerah persawahan dan dapat dengan mudah diakses dari daerah dari Pejampangan menuju Palabuhanratu. Pada November 1914, pengerjaan sisi kanan jembatan sudah selesai, kemudian diikuti dengan penyelesaian sisi kiri jembatan pada Agustus 1915," kata Rangga menambahkan.
Meskipun rencana penggalian fondasi dimulai pada Mei 1916, namun masalah demi masalah kemudian muncul. Hingga pada akhirnya menghambat proses pembangunan ini. Ditambah lagi, saat musim hujan timur atau Oostmoesson, banjir hebat terjadi pada Agustus dan September, dan menggerus bagian fondasi. Akibatnya, proyek ini harus ditunda hingga tahun 1917. Barulah pada bulan Mei 1917, konstruksi jembatan ini berhasil diselesaikan.
![]() |
"Tetapi, ketika sampai pada tanggal 2 November 1917, banjir kembali menghantam hingga menghancurkan tiang penyangga dan fondasi kiri jembatan. Barulah setelah itu, B.O.W merencanakan pembangunan jembatan kabel atau disebut dengan 'Kabelburg, yaitu konstruksi jembatan dengan menggunakan kabel sling baja sebagai penguat konstruksi dan B.O.W kemudian melakukan penawaran harga kepada kontraktor yang dapat menyelesaikan proyek ini sesuai rencana awal," papar Rangga mengisahkan.
Sayangnya kala itu masalah material kemudian muncul hingga pada sekitar pertengahan tahun 1918, perusahaan Geveke & Co dari Surabaya memberikan penawaran. Solusinya adalah memutuskan untuk membangun sebagian jembatan dengan menggunakan kayu sebagai alas jembatan. Kabel yang dibutuhkan dipesan dari sebuah kantor di Batavia yang saat itu masih belum dikenal namanya, yang secara kebetulan memiliki stok kabel berdiameter besar dari sling kawat baja yang tidak terikat oleh aturan ekspor Amerika Serikat.
"Untuk bagian kayu, perencanaan dilakukan dan negosiasi dengan perusahaan kontraktor alas kayu jembatan yaitu dengan N.V Vereenigde Javasche Houthandelmijen dimulai. Namun, negosiasi ini juga mengalami kegagalan," ujar Rangga.
Akhirnya, rencana untuk membangun dengan kayu ini dibatalkan. Sebagai solusi, General-machtigde dari American Steel Export Co, Mr Olthoff, menawarkan rencana yang menguntungkan. Pada tanggal 17 Januari 1919, Mr Olthoff diundang oleh Mr Ankersmit, direktur dari teknis Inkoopbureau yang baru dibentuk di New York dari departemen koloni Hindia Belanda, untuk menyampaikan penawaran harga.
"Meski demikian, proses ini mengalami hambatan ketika Mr Ankersmit menolak untuk bekerja sama di Amerika, karena B.O.W telah memulai negosiasi langsung dengan Mr Olthoff dari Steel Co. Meskipun penjelasan diberikan bahwa ini adalah langkah terpaksa, pandangan Mr Ankersmit tetap tidak berubah, yang berakibat pada penundaan proses pemesanan, sementara kurs dolar naik dengan cepat dan cukup signifikan, sehingga peluang terlewatkan dan langkah tersebut dinilai merugikan," kisahnya.
Ketika situasi semakin sulit, pilihan jatuh pada pabrik-pabrik di Hindia Belanda. Namun, permintaan penawaran harga masih terlalu tinggi, mencapai rata-rata 85 Sen per kilogram. Keterbatasan pasokan besi profil mendorong mereka untuk merancang portal sendi yang dapat bergerak dari beton bertulang.
Sementara itu, firma Becker & Co di Soerabaja mendapatkan besi dari Australia, dan mereka akhirnya mendapatkan kontrak untuk bagian atas jembatan. Namun, tidak semua berjalan lancar, karena kesulitan dengan pengiriman dan kesalahan dalam material.
"Tidak hanya itu, pada akhirnya, perusahaan ini berhasil mengatasi kesulitan dan perbaikan terus dilakukan. Meskipun banyak hambatan dan rintangan, jembatan Tjimandiri yang kemudian dikenal dengan "Hang Brug atau Kabelbrug Tjimandiri akhirnya selesai hampir 10 tahun dari rencana awal yaitu 1,5 tahun serta menghabiskan biaya lebih dari 30.000 Gulden,"papar Rangga.
"Hang brug Tjimandiri atau Jambatan Bagbagan menerapkan sistem jembatan yang gelagar utamanya digantungkan pada suatu kabel dengan perantara penggantung (hanger) yang dihubungkan dengan dua tower ganda, dan bertumpu pada pilar ganda untuk meneruskan beban-beban yang diterima oleh gelagar utama dan selanjutnya diteruskan ke fondasi;" pungkas Rangga.
(sya/sud)