Kenangan Warga Ciumbuleuit tentang Kejayaan Pertanian di Masa Silam

Lorong Waktu

Kenangan Warga Ciumbuleuit tentang Kejayaan Pertanian di Masa Silam

Rifat Alhamidi - detikJabar
Senin, 16 Okt 2023 08:00 WIB
Malam di Puncak Ciumbuleuit
Ilustrasi kawasan puncak Ciumbuleuit Bandung di malam hari (Syanti/detikTravel)
Bandung -

Ciumbuleuit, kini menjelma menjadi kawasan pariwisata di Bandung yang tidak pernah absen dikunjungi wisatawan pada akhir pekan. Memiliki landscape perbukitan, Ciumbuleuit menawarkan keindahan wilayah bagi yang memandangnya, sekaligus bisa menjadi alternatif melepas penat setelah berkutat dengan pekerjaan.

Sekedar diketahui, Ciumbuleuit merupakan nama resmi dari sebuah kelurahan di Kota Bandung, Jawa Barat. Luasnya mencapai 2,98 kilometer persegi yang diinduki Kecamatan Cidadap, dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Dengan jumlah penduduk hampir 24 ribu jiwa, Ciumbuleuit kini menjadi primadona untuk wisatawan yang berkunjung ke Kota Kembang. Selain karena wilayah perbukitannya yang indah, hawa sejuk di Ciumbuleuit membuat siapapun yang berkunjung pasti menjadi betah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi ternyata, jauh berabad-abad yang lalu sebelum menjadi salah satu kawasan pariwisata di Kota Bandung, Ciumbuleuit lebih terkenal sebagai wilayah penghasil pertanian. Sesuai dengan namanya yang berasal dari ejaan 'Ci', 'Ambu' dan 'Leuit', daerah itu dulunya merupakan lumbung padi untuk warga di Kota Kembang.

Rupanya, bukan hanya pesawahan dengan sistem huma yang tumbuh subur di Ciumbuleuit. Tanaman palawija hingga buah-buahan pun dulu dengan mudahnya bisa ditanam dan dipanen masyarakat setempat.

ADVERTISEMENT

Kenangan ini lah yang masih membekas di benak Tono (42), warga Kampung Bengkok, Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Dalam ingatannya, sekitar awal tahun 2000-an, tanaman-tanaman tersebut masih bisa ditemukan dengan mudah di perkebunan yang dikelola masyarakat.

"Kalau sawah mah emang udah banyak dari dulu. Tapi, yang saya masih ingat itu, banyak pohon-pohon kayak mangga, kokosan, duku, kecapi itu mudah banget dicarinya," kata dia saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

Suburnya tanah pertanian di Ciumbuleuit memang didukung oleh aliran Sungai Cikapundung yang masih belum terpapar sedimentasi. Bahkan yang menariknya, pohon durian pun dulu pernah tumbuh subur di wilayah yang sekarang banyak dibangun perumahan elite tersebut.

"Di sini itu dulu banyak pohon durian. Kalau udah musim panen, pasti ramai warga nungguin geblugan. Sekarang aja udah enggak ada lagi, pohonnya juga udah ditebangin. Kalau dulu, pohonnya masih banyak," ungkap pria bertubuh sedikit gempat tersebut.

Warga lainnya, Roni (27), juga punya kenangan yang sama saat Ciumbuleuit masih berupa tanah subur untuk pertanian maupun perkebunan. Ia pun masih ingat, hingga medio 2010-an awal, dia dan kawan-kawan seumurannya pasti selalu menyempatkan waktu bermain di Sungai Cikapundung setelah pulang sekolah.

"Yang seru itu dulu kalau pulang sekolah, pasti main dulu ke walungan (Sungai Cikapundung). Terus nyari buah-buah, dulu mah gampang nyarinya kayak kecapi, duku, kokosan. Main di situ sampai sore, terus pulangnya langsung ngaji ke Pak Ustaz," tutur Roni.

Sayangnya, kenangan itu kini sudah tidak bisa dirasakan lagi oleh Roni maupun Tono di sekitaran kampung halamannya. Meski kawasan pertanian masih ada yang dipertahankan, namun perlahan, wilayahnya semakin menyempit akibat Pembangunan rumah-rumah bergaya elite di Ciumbuleuit.

Kisah tentang kejayaan pertanian di Ciumbuleuit juga dituturkan M Rizky Wiryawan dalam bukunya berjudul 'Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan'. Ia mencatat, semenjak zaman Kolonial, Ciumbuleuit merupakan kawasan terbesar untuk perkebunan teh pada masa silam.

"... Sejak pertengahan abad ke-19, sebagian lahan Ciumbuleuit disulap menjadi perkebunan teh milik pemerintah yang kemudian beralih kepada swasta...," kata Rizky dikutip dari bukunya.

Diawali dengan pembukaan lahan budidaya teh seluas 35 bau (1 bau setara 0,7-0,8 hektar) pada 1835, jumlah pun kemudian meningkat drastis menjadi 325 hingga 400 bau hanya dalam kurun waktu 10 tahunan. Rizky bahkan mencatat, pada 1852, keuntungan perkebunan teh di Ciumbuleuit bisa menghasilkan 152 pon pertahunnya dengan biaya produksi 45 sen per pon dan harga jual 70 sen per pon.

Namun, kejayaan perkebunan teh di Ciumbuleuit lalu ditinggalkan usai kalah pamor dengan tanaman kopi. Mulai pada 1935, kawasan Ciumbuleuit saat itu akhirnya dibangun beberapa perumahan orang Belanda karena hawa sejuknya yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal.

(ral/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads